Monday, May 21, 2007

Panik Kala si Kecil Sakit

Disaat persiapan menjajal trek baru UI, teman sepenggenjotan bercerita bahwa anaknya sedang sakit, demam. Langsung kutimpali, "ah biasa om Hiz anak demam". Disambut pula oleh dia, "iya sih, tapi dah dua hari ini panasnya gak turun, khawatir". "Bukannya tiga hari masa observasi demam", maksudku 3x24jam gitu.

Aku kira tak ada orangtua yang gak panik kala anaknya sakit, demam misalnya. Minimal panik karena tahu si kecil bakal rewel, minta tidur sambil digendong, atau bahkan membatalkan rencana bercinta nanti malam, hahahaha. Oh ya, jangan salah, demam itu bukan penyakit lho, demam itu menandakan sedang ada 'sesuatu' yang bekerja didalam tubuh si kecil.

Aku juga punya cerita panik kala si kecil sakit. Saat itu adalah panik yang sepanik-paniknya. Lebaran tahun lalu kami -aku dan mama- alhamdulillah bisa mudik. Hari-hari pertama kami lewatkan di Turen, rumah ortuku. Kintan ceria dong, membuat suasana lebaran semakin meriah. Keceriaan itu hanya sampai kira-kira jam 9 malam pada hari yang sama kami datang. Malam habis berkunjung ke rumah saudara suhu tubuh kintan naik dengan cepat. Sial, saat itu kami tidak mempersiapkan kondisi seperti ini. Termometer tidak ada. Ya sudah ditunggu saja sampai pagi. Pagi keesokan harinya sudah bisa ditebak, Kintan rewel. Gak mau lepas dari gendongan. Kucarikan termometer dan kompres instan di apotek. Aku lupa saat itu suhu Kintan berapa derajad. Tapi yang jelas panas sekali, perkiraanku antara 38 s/d 39 derajad. Rewel dan susah makan, hanya minum susu. Sesuai SOP, demam ditunggu sampai 3x24 jam baru diambil tindakan. Kintan gendong terus sama mama, minum susu tidur (sambil digendong), begitu terus seharian. Malam kami lewatkan dengan menenangkan Kintan. Hari sudah pagi kembali. Demam belum juga pergi. Kintan mulai mau diturunkan dari gendongan. Sambil tiduran dikasur dia minum susu. Aku dan mama disampingnya terus. Rupanya dia sudah kenyang, botol dilepas. Saat itu kami juga sambil nonton tv. Kulihat Kintan tenang, gak rewel. Eits, tunggu ... ada yang salah. Kok Kintan tak bergerak-gerak. Kedua bola matanya memandang keatas seperti menerawang, sudah tidak sadar dengan sekelilingnya. Dari celah bibirnya mengalir susu yang baru diminum. Tubuhnya tetap tak bergerak, lemah sekali. Waduh, ada apa ini. Kami panik bukan kepalang. Ibuku melihat kondisi Kintan juga panik. Tanpa banyak bicara langsung dibopongnya Kintan dengan dibalut kain selendang berlari ke rumah bidan terdekat. Aku dan mama berlari mengikuti. Rasanya tak ada kalimat yang bisa menggambarkan kepanikanku saat itu. Pikiranku sudah melayang kemana-mana, membayangkan sesuatu terburuk akan terjadi. Aku takut kehilangan buah hatiku. Bidan yang kami datangi sedang tidak dirumah, beliau masih dinas. Waktu itu pagi belu lewat jam 7. Bapak menyusul dengan mengendarai motor. Langsung kuminta kuncinya, Kintan diserahkan ke mama dan kukebut ke rumah sakit terdekat. Rupanya di dekat gereja rumah sakit ada saudara yang sedang dinas, beliu menjadi tenaga sekuriti disitu. Dia kaget melihat aku pagi-pagi dengan mama membopong Kintan tergesa-gesa. Kuhampiri sebentar tuk bantu urusan di rumah sakit. Dia berlari dan aku melarikan motor ke rumah sakit. Kintan masih belum sadar. Untung ada dokter jaga. Dia langsung melakukan pemeriksaan didampingi mama. Aku diluar mengurus administrasi. Aku lihat Kintan mulai sadar, tapi masih lemas. Karena belum 3x24 jam dokter tidak melakukan pemeriksaan detil, hanya pemeriksaan standar. Rupanya suhu tubuh Kintan saat itu -kalau tidak salah- 38,8 derajad. Diberi obat, berupa sirup warna merah yang aku gak tahu apa isinya (karena gak bertanya, sudah panik duluan). Semoga hanya paracetamol sirup, bukan puyer ajaib ala dokter-dokter anak pada umumnya. Ternyata saudara-saudara, pada hari ke empat (atau kelima ya?) terjawablah penyebab demamnya Kintan. Roseola, begitu bahasa kerennya. Orang kampungku menyebutnya dengan gabaken. Disekujur tubuhnya muncul bercak merah-merah. Tenang deh hati ini begitu tahu apa penyebab kepanikan pada beberapa hari sebelumnya. Oh ya, kami sangat bersyukur pada Yang Maha Kuasa, karena Dia-lha yang menyembuhkan Kintan. Pertolongan Allah berupa informasi -yang menguatkan kami untuk tidak memberi obat apapun kepada Kintan, walau rewel dan dimarahi mertua- datang lewat GPRS. Entah stres seperti apa yang menimpa kami kala itu kalau tidak ada GPRS tuk akses internet. Sungguh teman, kami tidak bisa hidup tanpa internet, hehehehe.

Begitulah teman-teman cerita kepanikanku dan mama saat buah hati kami sakit. Walau kami -diwakili istriku tercinta :p- rajin membaca arsip-arsip milist sehat, web sehat grup tapi tetap saja masih panik dan syok. Itu manusiawi kok. Sekarang? Ya minimal aku -ya aku sendiri :p- sudah bisa berdebat dengan dokter ketika akan menulis resep tuk Kintan, hehehe. Thanks Ma, ... mmmuach!

7 comments:

Anonymous said...

Nahh... gini dong, pinter kan nulis tentang sakit pada anak. 2 jempol buat papa!

makasih tsel atas henpon GPRS-nya, hahaha...

Andri Wibowo said...

dan jg pulsa gratisnya, kekekekeke

Anonymous said...

samlekum!

masi ke kampus? hehehe.. gimana pengantar ekonomi? dapet apa?

i grabbed your RSS so don't worry.. i'm your blog reader.. :)

Andri Wibowo said...

waalaikumussalam

eh Rifie, gimana punya kabar?

lulus dunk pengantar ekonomi, ke kampus sih masih dengan tertatih2 :p

Pinkina said...

yhowes..suk mben nek anakku demam kari telpon Maki. Ndak perlu GPRS2an, kesuwen.

Maki - Paki (nama yg aneh *geleng2 kepala)

~s h i n t a~ said...

Hallo, Mas Andri... saya temen(ga pernah ketemu)nya Mbak Yuli yg pernah nanya kamera... Hehe sama Mas, panik waktu anakku Gabegan... Panasnya mencapai 39.9 derajat Cel. Waduh, udah mo nangis aja ngeliat anakku lemas tak berdaya gitu. Wkt itu usianya masih 9 bulan. Jadi pelajaran ya mas buat orang tua baru seperti kita ini...
Btw mas, saya ijin nge-link blognya ya...

Andri Wibowo said...

silahkan mbak shinta, dengan senang hati.

salam kenal buat mbak shinta dan keluarga :)