Entah angin apa yang membuatnya mampir ke sini. Di diskusi tersebut membahas curhat salah seorang anggota yang mengeluhkan kejenuhan memakai kamera digital (DSLR). Hal ini pun pernah terjadi pada diriku.
Kamera pertamaku adalah Braun SR 2000, semua serba manual. Kurasakan kok jadi lambat cara kerjaku pakai kamera ini. Tidak fleksibel dengan pilihan lensa yang terbatas. Maklum, waktu awal motret aku ingin mencoba semua gaya foto, semua ingin aku coba. Dari foto-foto pemandangan sampai foto orang dengan latarbelakang yang kabur. Akhirnya kuputuskan tuk beli Nikon F80 bekas, bekas teman kantor yang jarang motret. Kondisi masih ok sekali. Kamera yang nyaman dan enak dipakai. Tapi lagi-lagi menjamurnya komunitas online fotografer membuatku memakai kamera film kurang asyik. Harus nyecan dulu sebelum upload, harus olah dulu, ahhh ribet. Aku sudah sempatkan juga beli scanner, tak begitu mahal, hasilnya pun tak begitu bagus :D. Kemudian muncul dan rame dibahas, Nikon D70. Kamera hebat di generasinya, mendapat penghargaan pula. Beli dehhhh. Hampir 11 juta bo! Seneng dong punya kamera canggih dan keren, jepret sana jepret sini. Sampai akhirnya aku merasa jenuh.
Aku penggemar foto monokrom (hitam putih), dan sampai hari ini kamera digitalku belum bisa menghasilkan foto hitam putih yang memuaskanku. Tentu ini karena keterbatasan kemampuanku. Bosan, jenuh, bete. Ada yang rasa yang hilang dari hobi motret ini. Kemudahan yang ditawarkan kamera digital malah membuatku bosan dan jenuh. Semakin mudah aku membuat foto bagus semakin 'murah' pula rasanya foto tersebut. Yang terjadi saat ini kamera digitalku hanya sebagai kamera dokumentasi keluarga. Tuk keperluanku, pilihan kujatuhkan pada kamera rangefinder Bessa R plus lensa 35mm color skopar dan memproses sendiri film-filmku.
Ya ya ya, hal ini sangat subjektif. Tidak semua orang pehobi foto merasakan hal serupa. Apalagi dunia industri. Digital adalah raja. Kalau untuk keperluan bisnis memang memakai kamera digital lebih hemat biaya produksi. Keuntungan akan semakin berlipat ganda. Tapi perkembangan kamera digital yang cepat membuat kamera digital cepat sekali menjadi 'sampah'. Berlomba-lomba memakai kamera dengan teknologi terkini sudah semakin biasa. Bukan kemampuan fotografi yang diasah, tapi keunggulan teknologi kamera yang ditonjolkan. Tapi bagi tak bisa dipungkiri, bahwa teknologi digital memudahkan pemula tuk belajar foto. Tapi lagi-lagi jangan sampai kebablasan seperti ini, "Wah, fotomu bagus banget Ndri, pakai kamera apa bisa bagus seperti ini?" atau "Makanya pake camera itu digital, jadi ngga usah takut2 tuh jeprat jeptret, hari gini masih pake film, udah ngukurnya susah, motretnya susah, momennya ilang, prosesnya jg susah, walah, hidup udah susah dibikin susah". Tak ada yang salah bagi yang perpendapat seperti diatas. Tapi rasanya disitu pula terdapat pembedaan antara fotografer yang OK, GOOD, dan GREAT.
Kamera pertamaku adalah Braun SR 2000, semua serba manual. Kurasakan kok jadi lambat cara kerjaku pakai kamera ini. Tidak fleksibel dengan pilihan lensa yang terbatas. Maklum, waktu awal motret aku ingin mencoba semua gaya foto, semua ingin aku coba. Dari foto-foto pemandangan sampai foto orang dengan latarbelakang yang kabur. Akhirnya kuputuskan tuk beli Nikon F80 bekas, bekas teman kantor yang jarang motret. Kondisi masih ok sekali. Kamera yang nyaman dan enak dipakai. Tapi lagi-lagi menjamurnya komunitas online fotografer membuatku memakai kamera film kurang asyik. Harus nyecan dulu sebelum upload, harus olah dulu, ahhh ribet. Aku sudah sempatkan juga beli scanner, tak begitu mahal, hasilnya pun tak begitu bagus :D. Kemudian muncul dan rame dibahas, Nikon D70. Kamera hebat di generasinya, mendapat penghargaan pula. Beli dehhhh. Hampir 11 juta bo! Seneng dong punya kamera canggih dan keren, jepret sana jepret sini. Sampai akhirnya aku merasa jenuh.
Aku penggemar foto monokrom (hitam putih), dan sampai hari ini kamera digitalku belum bisa menghasilkan foto hitam putih yang memuaskanku. Tentu ini karena keterbatasan kemampuanku. Bosan, jenuh, bete. Ada yang rasa yang hilang dari hobi motret ini. Kemudahan yang ditawarkan kamera digital malah membuatku bosan dan jenuh. Semakin mudah aku membuat foto bagus semakin 'murah' pula rasanya foto tersebut. Yang terjadi saat ini kamera digitalku hanya sebagai kamera dokumentasi keluarga. Tuk keperluanku, pilihan kujatuhkan pada kamera rangefinder Bessa R plus lensa 35mm color skopar dan memproses sendiri film-filmku.
Ya ya ya, hal ini sangat subjektif. Tidak semua orang pehobi foto merasakan hal serupa. Apalagi dunia industri. Digital adalah raja. Kalau untuk keperluan bisnis memang memakai kamera digital lebih hemat biaya produksi. Keuntungan akan semakin berlipat ganda. Tapi perkembangan kamera digital yang cepat membuat kamera digital cepat sekali menjadi 'sampah'. Berlomba-lomba memakai kamera dengan teknologi terkini sudah semakin biasa. Bukan kemampuan fotografi yang diasah, tapi keunggulan teknologi kamera yang ditonjolkan. Tapi bagi tak bisa dipungkiri, bahwa teknologi digital memudahkan pemula tuk belajar foto. Tapi lagi-lagi jangan sampai kebablasan seperti ini, "Wah, fotomu bagus banget Ndri, pakai kamera apa bisa bagus seperti ini?" atau "Makanya pake camera itu digital, jadi ngga usah takut2 tuh jeprat jeptret, hari gini masih pake film, udah ngukurnya susah, motretnya susah, momennya ilang, prosesnya jg susah, walah, hidup udah susah dibikin susah". Tak ada yang salah bagi yang perpendapat seperti diatas. Tapi rasanya disitu pula terdapat pembedaan antara fotografer yang OK, GOOD, dan GREAT.
2 comments:
pak..bessa'nya dijual ngga? saya lg pengen banged punya rangefinder ni..SALAM
klo sudah ada leica MP atau M6 atau M7 + 35mm sumicron mgkin bessa-ku aku jual, hehehehe
Post a Comment