Tuesday, August 8, 2006

masih masalah jam kerja

Setelah mama menulis masalah jam kerja di kantornya giliran aku yang iseng nulis juga. Kali ini ditriger oleh teman lain departemen tapi masih satu divisi yang diminta cuti oleh bosnya hanya gara-gara dia ijin masuk kantor siang dikarenakan mengantar anaknya ke rumah sakit. Kenapa nggak si ibu yang mengantar? Ups, ... istrinya baru melahirkan (belum genap 3 minggu) dan tentu saja sibuk dengan si adik.

Seketika aku bereaksi, "gila juga si bos, segitunya ya." Sekaku itukah dia menerjemahkan aturan jam kerja? Kalau temanku suka nyolong-nyolong jam kerja tapi masih getol (dan gak malu) mengisi form lemburan, wajar si bos bereaksi seperti itu. Tapi tidak dengan temanku itu. Dia mengerti kewajiban dia, bekerja 8 jam sehari. Hampir 6 tahun aku sedivisi dengannya. Bahkan dia pernah menjadi kandidat terkuat mengisi jabatan manajer di departemennya ketika proses job tender, sayang posisi itu malah jatuh ke bosnya yang sekarang.

Sisi keHRDanku mengatakan, "Eh, elu udah gua bayar untuk kerja 8 jam, aturan perusahaan sudah jelas jam kerja dimulai jam 8 pagi, istirahat 1 jam, dan selesai jam 5 sore. Ngerti gak sih?"

Tapi ngomong-ngomong, prosedur resmi di kantor ini soal ijin keluar kantor aku juga belum ngeh, padahal kerja hampir 6 tahun. Selama ini aku hanya mengirim sms ke Kang Henry dan bosku saja, memberitahukan bahwa aku tidak masuk atau masuk siang. Selama ini pula tidak ada masalah. Begitu pula jika Kang Henry yang tidak masuk atau masuk siang atau pulang lebih awal, cukup bilang "Ndri, aku pulang dulu ya, mau ngantar Ares ke dokter."

Bosnya temanku juga tidak salah. Mungkin dia berpikir lebih baik cuti saja daripada konsentrasi terbelah. Utamakan keluarga tanpa merugikan perusahaan. Jika ada anggota keluarga yang sakit tentu sebagai kepala keluarga konsentrasi akan terbagi-bagi, dikhawatirkan konsentrasi dan mood yang kacau berakibat negatif dengan pekerjaan. Misalnya, dikomplen sedikit oleh customer service langsung marah-marah bawaanya.

Divisi tempat aku dan temanku itu kerja tugas utamanya adalah menjaga operasional perangkat core network dan VAS (Value Added Service) agar beroperasi dengan baik 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Bekerja dari pagi sampai pagi lagi bukan hal aneh disini. Sudah makanan sehari-hari, bahkan korban juga berjatuhan (beberapa teman terserang tifus). Jumlah jam kerja normal sama dengan bagian lain, 8 jam sehari. Sudah menjadi tradisi di divisiku jam kerja bukan menjadi harga mati, proporsional. Target utama adalah service avaibility, perfomance and scurity. Begitu aku menerjemahkan job description divisiku, bukan (berada di kantor) kerja 8 jam!

Salah juga sih mengatas namakan tradisi jam kerja proporsional sebagai alasan untuk menjustifikasi ketidakharusan hadir di kantor selama 8 jam. Aturan tetaplah aturan. Dia harus ditaati. Tapi ada kondisi yang memerlukan kebijaksanaan untuk melenturkan aturan tersebut, memanusiakan objek aturan. Eh, ini bicara di tataran divisiku saja ya, jangan diperluas lagi. Dan lagi setiap karyawan didivisiku sudah dibekali akses ke jaringan kantor memanfaatkan GPRS, gratis! Jadi dimanapun dia berada (diluar negeri sekalipun) akses ke kantor masih bisa. Kerja dari rumah tak jadi masalah, dan ini yang sering aku lakukan jika ada masalah di hari libur atau aku tidak masuk selepas kerja malam.

Andai saja anaknya bosnya temanku sakit (semoga tidak) dan hanya dia yang bisa mengantar ke rumah sakit apa dia akan cuti juga ya?

6 comments:

Anonymous said...

Dear,
hehehe... akhirnya tertrigger juga untuk nulis tentang topik ini. Di kantor yang dulu tau sendiri seketat apa, bahkan kalo telat semenit sangsinya harus pulang mundur 30 menit. Tapi, no problem kalau aku cuti mendadak karna Kintan sakit misalnya, asal bos setuju (dan bosku selalu setuju karna ga ada pending kerjaan, semua beres).

Kalo kasus temen papa itu, itu emang managernya sentimen kaleee, wong sehari-harinya aja juga gak akur kan, hehehe...

Ya seperti ini konsekwensi ortu bekerja. Semua pasti mengalami lah, cuma kasusnya beda2.

Anonymous said...

Ijin ama Cuti beda men.. !
tu manager biar kliatan bijaksana kaleee....

ijin dan cuti mempunyai persamaan yaitu sama2 tidak dipotong upahnya.
perbedaannya .. cuti itu terencana dan ijin itu tidak terencana.

jadi tidak tepat menggantikan ijin dijadikan cuti.
kalo saya jadi bawahan manager tersebut, saya akan eskalasi ke atasannya lagi (terkecuali kalo memang aturannya sudah begitu, lain soal).

maunya keliatan bijaksana, tp itu malah menimbulkan demotivasi kerja, yang akhirnya malah memperlemah divisi yg dia pimpin.

kayaknya harus ikutan LDK.. Latihan Dasar Kepemimpinan.. apa belum pernah ikutan tu manager ?

Anonymous said...

Manager baru sih pak, aku melihatnya aja geli. 6 tahun kerja di divisi ini baru sekali ada manager yang spt ini.

Memang di datang dari divisi lain yang (mungkin) punya 'tradisi' beda dengan disini, tapi aku pikir perintah untuk cuti kepada temanku kemaren adalah tidak tepat. Makanya disini aku tulis 'mungkin' karena aku gak tahu apa isi otak dia saat memerintahkan cuti itu.

Anonymous said...

kalo boleh sedikit nambahin, menurut saya dia itu terlalu saklek (atau mungkin memang tidak bisa kreatif kali...) dalam menerjemahkan omongan atasannya lagi (GM) yg tempo hari bilang karyawan itu jangan sampai jatah tahunan cutinya hangus, jadi sebaiknya cutilah... Eh dilalah dia menerjemahkannya bahwa kalo dia bisa membuat staffnya cuti berarti prestasi baik bagi dia yang maaf senang ABS (asal bos senang...). Malah temanku lainnya yang ngirim sms ke dia kalau ijin karena sakit... diperintahkan untuk menggantinya dengan jatah cutinya.....

Anonymous said...

klo jatah cuti si bos yang buat gantiin sih gpp, hehehehe

Anonymous said...

walah trenyuh aku