Monday, May 8, 2006

Adikku dan Sekolah STM

Pikiranku kembali melayang ke Turen, Malang. Dua mingguan lagi adikku, Gery akan ujian akhir. Hasil latihan kemaren sungguh menggenaskan, menggenaskan jika dilihat dari keinginannya di masa depan setelah lulus SMP. Dia ingin sekolah di STM. STM Telkom seperti aku, masnya. Aku rasa, dibenak dia melihatku lulus sekolah, langsung kerja dan mapan, training ke luar negeri, punya rumah sendiri. Dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain yang belum seberuntung aku saat ini tentu aku sudah punyai nilai ++ dimata ortu dan adik-adikku. Tetapi, ... nilai matematika dia lemah, cuma 4! Rapornya pun tercetak merah di mata pelajaran matematika. Padahal teknik informatika, elektro, otomotif, listrik, sipil sangat mengandalkan kemampuan matematika.

Adikku orangnya minderan (aku dulu seumur dia saat ini juga sama), pemalu, tapi telaten. Dia telaten merawat binatang piaraannya, tanaman-tanamannya. Nilai mata pelajaran yang lain juga rata-rata bagus. Tujuh paling tidak. Dari situ aku punya keyakinan jalur teknik bukan jalurnya. Dia punya potensi lain yang lebih berprospek. Siapa tahu otak kanannya lebih dominan dibangin otak kiri. Tapi siapa yang tahu?

Ingin aku mengajak dia bicara lebih mendalam, mencoba memberi gambaran potensi dia yang lebih dari sekedar melihat kakaknya beruntung di jalur teknik. Atau mengajak psikotes. Tapi apa dia ngerti? Bukan maksud meremehkan. Ketika aku SMP, hal-hal seperti itu aku tak mengerti. Lingkungan mengajariku sekolah yang benar, lulus dengan nilai yang tinggi sehingga mudah mencari kerja. Melihat potensi diri? Seingatku tak ada pikiran seperti itu ketika aku sekolah, sMP dan STM Telkom. Nilai tinggi, lulus cepat kerja. Oh ya, dari SD aku selalu bilang akan sekolah STM nanti ketika selulus SMP. Menurutku saat itu, lulusan sekolah kejuruan lebih mudah mencari kerja dibanding sekolah umum. Ortuku sependapat soal ini. Wawasanku terbuka ketika aku menginjakkan kaki di Jakarta. Bertemu,mengamati dan bertukar pendapat dengan orang-orang yang latar belakang pendidikan, pekerjaan yang berbeda. Bidang kerja itu luassss sekali. Tapi itu di ibukota!

Kembai ke Gery yang ingin sekolah di STM Telkom. Aku terlibat diskusi kecil dengan bapak, membicarakan sekolah Gery. Bapak tahu Gery hampir mustahil untuk masuk STM Telkom. Alternatif bapak adalah STM di kecamatanku, sebut saja STM Turen. Siswa STM ini terkenal bengal, maaf aku tahunya dari tetangga-tetanggaku yang menjadi murid disana dan obrolannya seputar tawuran dan cewek. Guru yang sadis, ringan tangan seperti ospek STPDN. Tapi aku tak boleh mengeneralisir. Aku ingin Gery masuk ke lingkungan pendidikan yang sehat. Penuh persaingan positif. Keinginanku saat ini, Gery ke SMA dan melanjutkan kuliah dengan jurusan selain teknik, tapi aku sendiri tak tahu potensinya. Sebenarnya bapak sependapat denganku, tapi beliau takut kalau nantinya Gery mutung. "Salah sendiri dulu aku minta sekolah STM gak boleh" Bapak takut kalimat itu terucap dari mulut Gery. Aku sadar kalimat itu punya efek besar disaat-saat dia menjalani kehidupan di masa depannya. Hmmm, ... mungkin ada mutiara yang terpendam dilumpur. Mutiara tetaplah mutiara, walau terbenam di lumpur, akan terus dicari.

Aku tak tahu takdir Gery di ujian akhir nanti. Siapa tahu dia lulus dengan nilai tinggi? Siapa tahu ternyata dia diterima di STM Telkom? Atau, siapa tahu di STM Turen nanti dia akan menjadi mutiara? Siapa tahu masa depannya lebih cemerlang dibanding kakaknya yang hanya jadi kuli di Jakarta? Siapa tahu?

1 comment: