Thursday, August 3, 2006

Klavdij Sluban Bicara Tentang Habis Gelap

Teks ini aku ambil dari milist wpph (World Press Photo Photojournalism Workshop 2004 Indonesia). Karena milist tersebut bersifat public maka aku ambil saja tulisan kiriman salah satu anggotanya aku taruh di blog ini. Pengirim (dan penulis) artikel ini adalah Stefanny (kalau tidak salah nama lengkapnya Stefanny Imelda). Jika suatu hari si penulis keberatan tentu akan aku hapus dari blogku.

Bicara mengenai
Klavdij Sluban jadi ingat berhujan-hujan mengendarai motor hanya untuk datang ke acara pembukaan pamerannya bulan April. Sayang katalog pamerannya sampai saat ini belum terbeli.

Ok, dibawah ini tulisan Stefanny yang aku paste tanpa aku tambah atau aku kurangi. Tulisan asli ada disini. Semoga memberi pencerahaan dalam berekspresi lewat media fotografi.

---

KLAVDIJ SLUBAN BICARA TENTANG HABIS GELAP

Meski terbilang bangsa Indonesia (1842) lebih awal mengenal kamera ketimbang Jepang (1850), namun untuk hal yang satu ini kita masih perlu dibimbing membaca secara visual makna yang tersirat dalam sebuah karya foto. Kira-kira itulah yang terjadi saat diskusi dan temu wicaraberlangsung pada pameran foto tunggal karya fotografer Prancis yang sedang naik daun di Eropa, Klavdij Sluban, digelar di Galeri Nasional,April 2006.

Saya pribadi mendengar diskusi yang `heboh' ini lewat rekaman kasetyang sengaja saya minta rekam ke pihak Centre Culturel Français (CCF),berhubung saya sedang berada di Belanda.

Saya mengenal Klavdij Sluban sejak Desember 2004. Saat itu saya didaulat oleh Oktagon untuk menjadi asisten dan penerjemah beliau selama Workshop Masterclass secara mendadak.

Terus terang saya sangat beruntung dipertemukan dengan fotografer satu ini. Beliau bukan hanya fotografer yang sudah matang secara pemikiran, namun juga guru yang sangat membebaskan kreatifitas dan kemampuan muridnya. Beliau tidak ingin membuat muridnya menjadi fotokopidirinya, namun lebih pada memahami dirinya masing-masing dan memvisualisasikannya lewat karya.

Diskusi dipandu oleh Oscar Motuloh yang bertindak sebagai moderator,dengan para pembicara yaitu Rifky Goro Effendi dari Galeri Cemara 6 yang memberikan makalah "Seni Melihat", M. Firman Ichsan dengan makalah "Cara Pandang Media & Fotografer Indonesia", YudhiSoerjoatmodjo yang bertindak sebagai kurator pameran, dan tentu saja dihadiri oleh Klavdij Sluban.

Pada presentasi Rifky Goro, kita diingatkan pada masa sejarah pencerahan di Eropa lewat karya Renaisans, Leonardo da Vinci,kehebatan film Luther, kamera obscura/pinhole, hingga antropologi fotografi dan IPPHOS dengan semangat nasionalismenya.

Saat presentasi Rifky Goro berakhir, Klavdij yang lahir di Slovakia, 6Maret 1963 ini menambahkan sebuah statement lewat foto penyemir sepatuyang diambil dengan eksposur yang cukup lama hingga membuatlalu-lalang orang di sekitar penyemir itu hilang. "Jangan percaya fotografer" begitu katanya yang membuat peserta diskusi tertawa terbahak-bahak.

Sedang Firman Ichsan mengenalkan kita pada bentuk otonomi seorang fotografer, dimana pola kerja yang dijalaninya berdasarkan keinginan dan kebebasannya dalam berkreasi, dimana objek yang dipilihnya menjadi subjek. Beberapa point yang menarik dilanturkan Firman seperti, apakah foto bisa mempengaruhi masyarakat, lalu sisi pendistribusian, pernyataan politik lewat foto, hingga permasalahan foto bagus dan tidak bagus (teknis).

Oscar Motuloh, sang moderator, juga mengingatkan kita pada ketidakpercayadiri beberapa fotografer yang mengganti namanya dengan nama-nama yang lebih kebarat-baratan/amerika, seperti Albert da Cordadan Robert Capa.

Saat Klavdij memulai penjelasannya yang sepertinya menimbulkan ketidakpuasan para peserta dan menimbulkan banyak pertanyaan, menyerempet pada keburukan di dunia fotografi. Dimana terlihat dari perkembangan kamera dan film yang semakin lama semakin kecil dan mudah. Keburukan lain adalah keburukan reproduksi dan kualitas gambar yang semakin dimudahkan dimana banyak fotografer yang kemudian mengandalkan kemampuan kameranya ketimbang kemampuannya. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kamera digital, dimana setiap orang bisa memotret dengan kualitas yang cukup baik, hingga kamera di telepongenggam. Ini membuat karya foto menjadi semakin tidak dihargail antaran keinstanannya.

Beliau juga membuat lelucon-lelucon tentang "seorang anak harus membunuh ayahnya" lewat penjelasan hubungannya dengan Henri CartierBresson (sang ayah) dan Robert Frank (sang anak). Berhubung Bresson merupakan fotografer yang sangat arogan dan keras terhadap muridnya, yang terkenal lewat karyanya "Decisive Moment", yang lalu ditanggapi Robert Frank dengan membuat foto setelah decisive moment. Hal ini juga dilakukan oleh Klavdij lewat karya-karyanya.

Klavdij bukan mengejar peristiwa, namun apa yang terjadi setelah peristiwa itu terjadi. Terlihat dari negara-negara yang dikunjunginya merupakan negara yang baru saja terkena dampak guncangan ekonomi dan politik yang kuat (negara-negara pecahan Soviet, Eropa Timur, Cina,Amerika Selatan, hingga Indonesia). Beliau tidak memotret saat guncangan itu terjadi, justru setelah guncangan hebat itu terjadi.Lalu beliau melibatkan opini dan perasaannya yang sangat pribadi dalam visualnya. Sehingga foto itu terkesan pribadi.

Kendala dari pengunjung pameran di Indonesia adalah kebanyakan darikita lebih suka disuapin untuk mengerti makna tersimpan dalam sebuah foto ketimbang mencoba mencarinya sendiri. Pengunjung seolah menuntut penjelasan-penjelasan teknis, seperti kenapa menggunakan film hitamputih, kenapa analog, kenapa gelap, apa maksudnya, dll dsb. Padahal budaya membaca secara visual sudah kita lakukan sejak kecil. Sebelum kita mengenal huruf, kita lebih dulu mengenal gambar, begitu penjelasan Klavdij.

Sama halnya dengan fotografer lainnya, Klavdij juga mengakui kehidupan seorang seniman foto di Eropa juga sama sulitnya dengan seniman foto disini. Bedanya hanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat di Eropa sangat berperan. Seperti galeri seni, musium, dan institusisetempat dalam memberi sponsor atas proyek-proyek para seniman, yang membuat mereka harus bertarung dalam membuat ide untuk mendanai proyek mereka. Belum lagi kehadiran kolektor foto yang banyak jumlahnya, menjadi aset buat orang-orang seperti Klavdij untuk tetap bertahan hidup.

Contohnya saja proyek workshop Klavdij di penjara-penjara negara pecahan Soviet dan Prancis yang dilakoninya selama 10 tahun. Proyekini didukung oleh beberapa fotografer kenamaan lainnya seperti Henri Cartier Bresson, William Klein, dan Marc Riboud.

Klavdij juga mengingatkan kita pada kebebasan yang didapatkannya sebagai fotografer otonom, bahwa kebebasan itu sendiri merupakan beban. Hal ini juga dilontarkan oleh sastrawan dan filosofer Kahlil Gibran. Karena dalam kehidupan yang bebas, disana tetap ada kewajibandan aturan-aturan yang harus dijalankan.

Firman mengingatkan kita bahwa kualitas karya harus kita lihat sebelum sampai pada posisi yang Klavdij berada sekarang. Mulai dari pemahaman estetika hingga penguasaan teknis yang baik. Karena kita tidak bisa lompat ke posisi di atas tanpa melewati yang bawah dengan baik. Selain itu juga harus kita sesuaikan dengan situasi yang terjadi di Indonesia sendiri yang tentunya sangat jauh berbeda dengan di negara-negara barat.

Tanpa bermaksud mengecilkan fotografer-fotografer ternama lainnya seperti James Nachtwey, Herve Dangla, Sebastiao Salgado yang pernah juga berpameran di Indonesia, Mereka melakukan tugas untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh publik dan agen/kliennya.

Klavdij mengingatkan bahwa dia tidak ingin berpolitik lewat karyanya. Bagi beliau, bila ingin berpolitik tidak perlu membawa kamera. Dia lebih melihat filosofinya ketimbang politiknya. Lantaran terlalu seringnya kita melihat foto-foto perang, konflik, bencana, dll, terkadang membuat kita menjadi muak dan kehilangan rasa/kebal karena sudah terbiasa melihatnya. Foto-foto ini dengan mudah kita tangkap maknanya sehingga tidak membuat kita berpikir dan merasakannya lebih dalam lagi.

Istilah "cinta tidak harus memiliki", demikian juga bila kita jatuh cinta dengan fotografi. Terkadang kita harus membiarkan kemisteriusannya saat kita tidak memahami sebuah karya foto. Dengan terus menggali pengalaman visual, kita terkadang menemukan jawaban atas kemisteriusannya kelak. Istilah itu juga yang membuat saya sampai hari ini tetap belajar visual. Cinta tidak harus memiliki, itulah pengorbanan yang ingin saya ingin lakukan untuk mewujudkan kecintaan saya pada fotografi, dengan selalu menemukan sisi misteriusnya yang lain setelah mendapat jawaban yang sebelumnya atau malah belum.

Sebelum beliau kembali ke Prancis, kami sempat berdiskusi hingga jam 2 pagi tentang banyak hal yang terjadi di dunia fotografi dan apa yang terjadi dengan karya-karya kita. Untungnya saat itu saya masih jet-lag lantaran dari airport langsung ketemu Klavdij, berhubung itu menjadi hari terakhirnya di Indonesia. Pembicaraan kami waktu bertemu diPrancis kembali menjadi bahan diskusi.

Masih banyak fotografer yang masih terjajah baik oleh dirinya sendiri, atasan, maupun publik. Namun kami berdua sepakat tidak ada salahnyadengan itu selama kompromi-kompromi terjadi untuk memenuhi keinginanpersonalnya sendiri.

Seperti yang ditulis Klavdij untuk saya di katalognya "with my warmestwishes you keep on fighting for good photography". Beliau juga selalu mengingatkan saya untuk tidak pernah lepas menjadi diri sendiri. "Buat angle-angle yang sifatnya pribadi. Jangan selalu menjadi fotokopi. Bila kebutuhan finansial sudah terpenuhi, berilah waktu untuk kebutuhan memvisualkan diri."

Ada kesamaan diantara kami berdua, bahwa kami memulai karir kami dengan jatuh-bangun dan jatuh. Namun itu pula yang membuat kami lebih kuat dan bertahan menghadapi cobaan hidup sebagai fotografer. Selain kami sama-sama terobsesi dengan penjara, tentunya, dan karya-karya Martin Parr. Di saat kita jatuh, jangan pernah lupa untuk berdiri. Dan di saat kita sudah bangkit, jangan lupa juga kita pernah jatuh dan jadikan itu pengalaman berharga.

Pertanyaannya, ibarat anak dengan bapak, mampukah saya membunuh bapak saya ini saat di usianya sekarang? Seperti yang dilakukan Robert Frank dan Klavdij Sluban pada ayah mereka.
-sfn-

2 comments:

Anonymous said...

Pertama ? (nututi komentator2 situs blog2 terkenal... dudulz pisan)
yok opo... ndelok blog trus komentare njur ngono.. ra onok gawean blazz..! :))

Anonymous said...

hahahahahaha

kayak di blognya priyadi aja