Bu Iya, temannya mama mendapat gelang. Pak Tri Kombes, sebotol wine buatan tahun 2000. Asep wine juga, tahun 1999. Office Boy kantorku, sekotak coklat 5 euro. Mama? Tanyakan saja pada yang bersangkutan :D.
Bukan oleh-oleh seperti itu yang ingin aku tulis disini. Di Paris aku tak habis 100 USD, sayang mau membelanjakan uang disana. Paris ya Paris, aku tak ngefans dengan kota ini. Bagiku biasa saja. Jangan salah, Paris memang eksotis, tapi kesana sendiri? Kasihan deh aku :p.
Empat kali berkunjung ke kota ini baru kali ini aku mencoba mengamati lebih detil pernik-perniknya. Aku ingin mencoba membandingkan dengan negeriku, siapa tahu banyak yang bisa dicontoh. Ini yang aku maksud oleh-oleh.
Transportasi. Hanya bisa berandai-andai kapan Jakarta dan kota-kota penyanggah sekitarnya bisa mempunyai infrastruktur seperti Paris. Mungkin kurang tepat jika dibandingkan dengan Paris, karena umurnya yang selisih sangat jauh. Jakarta sudah merintis dengan adanya busway, patut diacungi jempol. Sekarang sudah mulai dilanjutkan pembangunan monorel. Sayang, pembangunan tersebut masih dipusat kota. Mungkin untuk kota-kota penyanggah seperti Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang harus menunggu ide megapolitan terlaksana. Harus ada transportasi publik yang efisien waktu dan biaya yang menghubungkan Jakarta dan kota penyanggah. Semoga cepat terealisasikan.
Kebanggaan terhadap diri sendiri. Pondasi ini yang Indonesia tak punya! Contohnya bahasa Indonesia. Bangsa ini lebih senang dan bangga memakai bahasa asing sebagai nama gedung, pusat bisnis, iklan. Ketika mengadakan presentasi tak keren jika tak menyebut istilah asing. Dalam dialog sehari-hari pula. Bahkan seorang warga negara asing mengkritik Indonesia di sebuah media, kenapa bangsa ini tidak cinta berbahasa Indonesia? Aku sendiri? Aku masih sering menggunakan istilah-intilah asing dipercakapan, karena belum menemukan padanan katanya. Kalaupun ada aku masih ragu. Contohnya filter, ada yang bilang tapis dalam bahasa Indonesia. Aku masih merasa aneh. Yang gampang ya input = masukan, output = keluaran. Dulu aku juga merasa keren jika menyisipkan kata-kata asing di omongan. Educated lha rasanya. Di Paris, semua diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Film keluaran Hollywood tak luput. Di televisi juga, film berbahasa Inggris disulap menjadi bahasa setempat. Warna suara masih mirip dengan aslinya, itu yang hebat. Jadi suara Mel Gibson yang berbahasa Inggris diperanciskan dengan suara yang sama. Di Indonesia sudah beberapa (telenovel, film mandarin, india) seperti itu, tapi suaranya suara lokal. Terdengar aneh, walau itu yang benar! JTV di Jawa Timur sudah mulai menjawakan beberapa program hiburan filmnya. Lihatlah Indonesia sekarang ini. Semua dijual, kita takluk di asing. Contoh kecil saja, lihat betapa bertebarannya produk asing di toko swalayan. Padahal aku yakin Indonesia bisa membuatnya, dengan kualitas yang sama bahkan lebih sekalipun. Di Asia Tenggara Indonesia sudah kalah bersaing dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan sebentar lagi Vietnam. Mereka bisa maju karena mereka punya kebanggaan, kecintaan terhadap diri sendiri, dan cinta bahasa sendiri sebagai budaya dasar.
Satu lagi yang mengganjal. Aku bertemu rombongan TNI AU di bandaran Paris, mereka pulang sama seperti aku. Kami bertemu lagi di Singapora. Ketika menunggu keberangkatan ke Jakarta aku ajak salah seorang ngobrol. Dia bercerita dengan bangganya bahwa tanpa bayar bisa naik metro di Paris. Dia meniru tingkah negatif Parisian. Tak ada tiket melompati pintu pembatas. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi. Pantas jika negara ini tidak maju-maju, mental pencuri seperti ini kental sekali, bahkan di aparat yang seharusnya memberi tauladan. Aku juga pernah sekali berbuat seperti itu, aku mengaku salah. Padahal aku juga punya tiket, hanya iseng saja saat itu. Aku menempelkan badanku ke teman yang langsing ketika akan melewati pintu masuk ke metro mengakali lebarnya jarak antar pembatas. Aku tak mau mengulanginya lagi, malu.
Jadi teringat salam tempel di KRL Jabodetabek :(.
Bukan oleh-oleh seperti itu yang ingin aku tulis disini. Di Paris aku tak habis 100 USD, sayang mau membelanjakan uang disana. Paris ya Paris, aku tak ngefans dengan kota ini. Bagiku biasa saja. Jangan salah, Paris memang eksotis, tapi kesana sendiri? Kasihan deh aku :p.
Empat kali berkunjung ke kota ini baru kali ini aku mencoba mengamati lebih detil pernik-perniknya. Aku ingin mencoba membandingkan dengan negeriku, siapa tahu banyak yang bisa dicontoh. Ini yang aku maksud oleh-oleh.
Transportasi. Hanya bisa berandai-andai kapan Jakarta dan kota-kota penyanggah sekitarnya bisa mempunyai infrastruktur seperti Paris. Mungkin kurang tepat jika dibandingkan dengan Paris, karena umurnya yang selisih sangat jauh. Jakarta sudah merintis dengan adanya busway, patut diacungi jempol. Sekarang sudah mulai dilanjutkan pembangunan monorel. Sayang, pembangunan tersebut masih dipusat kota. Mungkin untuk kota-kota penyanggah seperti Depok, Bekasi, Bogor, Tangerang harus menunggu ide megapolitan terlaksana. Harus ada transportasi publik yang efisien waktu dan biaya yang menghubungkan Jakarta dan kota penyanggah. Semoga cepat terealisasikan.
Kebanggaan terhadap diri sendiri. Pondasi ini yang Indonesia tak punya! Contohnya bahasa Indonesia. Bangsa ini lebih senang dan bangga memakai bahasa asing sebagai nama gedung, pusat bisnis, iklan. Ketika mengadakan presentasi tak keren jika tak menyebut istilah asing. Dalam dialog sehari-hari pula. Bahkan seorang warga negara asing mengkritik Indonesia di sebuah media, kenapa bangsa ini tidak cinta berbahasa Indonesia? Aku sendiri? Aku masih sering menggunakan istilah-intilah asing dipercakapan, karena belum menemukan padanan katanya. Kalaupun ada aku masih ragu. Contohnya filter, ada yang bilang tapis dalam bahasa Indonesia. Aku masih merasa aneh. Yang gampang ya input = masukan, output = keluaran. Dulu aku juga merasa keren jika menyisipkan kata-kata asing di omongan. Educated lha rasanya. Di Paris, semua diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Film keluaran Hollywood tak luput. Di televisi juga, film berbahasa Inggris disulap menjadi bahasa setempat. Warna suara masih mirip dengan aslinya, itu yang hebat. Jadi suara Mel Gibson yang berbahasa Inggris diperanciskan dengan suara yang sama. Di Indonesia sudah beberapa (telenovel, film mandarin, india) seperti itu, tapi suaranya suara lokal. Terdengar aneh, walau itu yang benar! JTV di Jawa Timur sudah mulai menjawakan beberapa program hiburan filmnya. Lihatlah Indonesia sekarang ini. Semua dijual, kita takluk di asing. Contoh kecil saja, lihat betapa bertebarannya produk asing di toko swalayan. Padahal aku yakin Indonesia bisa membuatnya, dengan kualitas yang sama bahkan lebih sekalipun. Di Asia Tenggara Indonesia sudah kalah bersaing dengan Malaysia, Singapura, Thailand, dan sebentar lagi Vietnam. Mereka bisa maju karena mereka punya kebanggaan, kecintaan terhadap diri sendiri, dan cinta bahasa sendiri sebagai budaya dasar.
Satu lagi yang mengganjal. Aku bertemu rombongan TNI AU di bandaran Paris, mereka pulang sama seperti aku. Kami bertemu lagi di Singapora. Ketika menunggu keberangkatan ke Jakarta aku ajak salah seorang ngobrol. Dia bercerita dengan bangganya bahwa tanpa bayar bisa naik metro di Paris. Dia meniru tingkah negatif Parisian. Tak ada tiket melompati pintu pembatas. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi. Pantas jika negara ini tidak maju-maju, mental pencuri seperti ini kental sekali, bahkan di aparat yang seharusnya memberi tauladan. Aku juga pernah sekali berbuat seperti itu, aku mengaku salah. Padahal aku juga punya tiket, hanya iseng saja saat itu. Aku menempelkan badanku ke teman yang langsing ketika akan melewati pintu masuk ke metro mengakali lebarnya jarak antar pembatas. Aku tak mau mengulanginya lagi, malu.
Jadi teringat salam tempel di KRL Jabodetabek :(.
No comments:
Post a Comment