Monday, March 6, 2006

Komentar Sebelum Kerja : Salam Tempel Penumpang KRL

Dalam jangka 2 hari, dunia perkeretapian di Indonesia (Jakarta khususnya) mendapat musibah. Ambrolnya atap gerbong dan putusnya kabel listrik KRL. Semuanya meminta jatah korban, luka dan meninggal. Tragis, ... usaha berangkat menjemput rejeki dari Allah malah dijemput oleh malaikat pencabut nyawa. Isak tangis ratapan keluarga yang ditinggal hanya menjadi pelampiasan sia-sia, malaikat tidak akan mengantarkan mereka kembali ke dunia ini.

Pagi ini mama mengajak naik Depok Express, takut sindrom macet hari Senin. Ada pengecekan tiket, tumben! Beberapa kali naik kereta ini baru hari ini ada pemeriksaan tiket. Eh, tapi kok sebentar sekali, dan sepertinya tidak semua menyerahkan tiketnya untuk dilubangi? Ternyata, salam tempel. Khas ibu-ibu di kampung halamanku kalau memberi angpau pada tetangga yang punya hajat. Beberapa lipatan uang (ribuan) menjadi ganti tiket seharga 9 ribu rupiah. Yang ini pasti masuk ke kantong personal petugas, bukan kas PT KAI.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa naik KRL atau kereta api antar provinsi pun bisa 'bayar atas'. Tidak perlu membeli tiket, cukup salam tempel. Saya yakin bos-bos besar PT KAI juga tahu hal ini. Untuk mengingatkan penumpang yang suka kirim salam tempel, pengelola KRL juga menempelkan sebuah iklan layanan masyarakat yang kurang lebih isinya "Dengan membeli tiket, anda ikut memelihara kereta ini".

Aku jadi tergelitik, kira-kira berapa ya penghasilan KAI yang hilang akibat salam tempel ini? Aku coba buat simulasi ala kadarnya, KRL Depok Express keberangkatan jam 6:25 sebagai contoh, aku lupa ada berapa rangkaian gerbong yang diangkut, anggap 8. Karena jam padat (dan jam padat inilah yang dimanfaatkan oleh pengirim salam tempel) 1 gerbong anggap terisi 120 orang. Pendapatan yang seharusnya didapat KAI pagi itu kira-kira Rp 8.640.000, 20 hari kerja sudah Rp 172.800.000. Pengamatanku pagi ini di gerbong yang aku naiki, lebih dari 20% penumpang yang memberi salam tempel. Maaf, sekali lagi itu hanya perkiraan dan pengamatan kasar. Jika dijumlah dalam 20 hari kerja, penghasilan yang hilang sekitar Rp 34.560.000, wow. Nilai yang besar. Dan itu masuk kantong-kantong petugas. Petugas disini bukan hanya yang ada dikereta (masinis dan penarik tiket), tapi juga yang bertugas stasiun. Tidak dipungkiri ada oknum-oknum petugas yang 'bersih', biasanya orang seperti ini akan tersingkir. Bagi-bagi 'bonus' ini sudah lazim di perusahaan-perusahaan milik negara.

Bayangkan jika semua penumpang jujur, mau membayar sesuai aturan, petugas bersikap garang terhadap mereka-mereka yang mencoba berkirim salam tempel. Keuangan KAI dikelola dengan profesional. Laba yang besar bisa digunakan untuk membeli kereta baru (bekas Jepang). Kereta bekas krl express yang masih laik bisa menggantikan kereta ekonomi yang semakin memprihatinkan. Jika uang masih sisa KAI bisa berpikir untuk investasi ke teknologi baru. Monorel dari Depok - JKT misalnya. Atau bahkan membuka jalur baru. Siapa tahu kawasan yang macet karena jalan penuh mobil bisa berkurang kemacetannya karena kawasan tersebut sudah bisa dijangkau dengan kereta (tentu yang nyaman dan aman). Jika masih sisa juga bisa untuk mensubsidi pembangunan busway dari Depok - JKT. Wahhh, ... penumpang tinggal memilih tuh, mau naik krl express atau busway. Semuanya anti macet, nyaman, aman. Jalanan jadi lancar karena semua orang bersemangat memanfaatkan angkutan umum (yang terintegrasi) sebagai akses menuju tempat kerja.

Oh ya, satu lagi ladang yang belum dimanfaatkan KAI. Iklan! Selama ini aku lihat iklan hanya dipasang di tempat duduk kereta api eksekutif seperti Argo Bromo. Coba beberapa persen keuntungan KAI di gunakan untuk memperbaiki stasiun-stasiun. Padagang kaki lima ditata dengan manis. Ada petugas yang tegas untuk menindak setiap ketidakdisiplinan. Ketika stasiun sudah enak dilihat, giliran KAI yang mempromosikan stasiun-stasiun tersebut sebagai media untuk iklan. Bayangkan, ada ribuan orang yang memadati stasiun-stasiun seperti Gambir, Depok Lama, Bogor, Dukuh Atas (Sudirman) setiap harinya. Sebuah prospek yang tidak main-main.

Ah, sudah saatnya bangun ...

Selama mental penumpang dan petugas masih seperti itu, semua ini hanya mimpi belaka. Aku yakin penumpang dan petugas yang suka salam tempel tersebut tahu tindakan mereka salah. Entah kapan budaya salam tempel itu hilang.

No comments: