Friday, March 31, 2006

Catatan perjalanan : hari ketiga training

Tak terasa sudah 5 hari aku meninggalkan keluarga. Kangen sangat mendera. Mama, Kintan, dua bidadari membayangi setiap hariku di Paris. Ketika menuju tempat training, dijalan aku melihat ibu-ibu menuntun anaknya, perempuan. Putrinya mungil, berjaket tebal karena dingin. Kulitnya putih, makin terlihat imut. Melihat dia berjalan bersama ibunya tak heran jika perempuan Paris selalu terlihat tergesa-gesa. Jalannya cepat dan ringkas. Sejak kecil mereka sudah dibiasakan seperti itu. Bocah kecil itu terlihat agak kewalahan mengimbangi si ibu.

Ingatanku langsun pulang kampung ke Depok, teringat Kintan. Membayangkan Kintan ketika nanti seumur bocah tadi. Kutuntun jalan-jalan. Dia aktif bertanya apapun yang dia lihat, membuat aku repot menjawab rasa ingin tahunya yang sangat. Oh indahnya, ditemani mama pula. Sekarang Kintan masih berumur hampir 6 bulan, berguling-guling dan merambat ke belakang. Lucu sekali jika ia merambat. Pantatnya diangkat tinggi terus kedua tangannya mendorong kebelakang. Aku dan mama pasti tertawa geli.

Tadi pagi sebelum ada telp masuk, tidak jelas siapa yang telp. Aha, ternyata suara Kintan! Ohhh, kangenku bukan terobati malah menjadi. Rasa yang tidak dapat dilukiskan mendengar celotehnya. Papa kangen sekali Nak. Mama cerita tentang Kintan yang takut pancuran di halaman depan. Mama sedang mengisi bak air mancur, mengganti air, Kintan digendong dan diajak mendekat oleh Mbak Ma. Mama iseng menyiramkan air dari slang kran ke kaki mungilnya. Bukan senang malah tangisan yang keluar. Hahahah. Akibatnya sekarang dia takut diajak mendekat ke pancuran. Gemesin gemesin gemesin .... :(

Materi training hari ini Network Supervision (AOMC V3.1). Dokumennya lebih tebal dari dua hari yang lalu. Tak terasa sudah waktunya makan siang. Iskandar masih saja jadi objek celaan di grup kami.

Bersepuluh kami menuju restoran dekat tempat training. Arvin agak belagu kuat menahan dingin. Karena gemas kami menelanjanginya, jaket dan sweter dilucuti. Tinggal kaos tipis dan celana jeans. Kulihat teman-teman yang memakai jaket tebal masih menggigil, menyembunyikan tangan disaku. Entah bagaimana dinginnya Arvin, hehehe. Jaket dan sweternya ditahan Mas Dadik. Maaf Vin, aku yang memulai tadi :D. Bada hanya nyengir melihat keisengan kami.

Hari ini training diakhiri lebih awal. Ferma mengundang makan malam dan naik perahu menyusuri sungai Seine. Wisata ini sangat menarik, sangat romantis. Teringat beberapa tahun lalu aku naik kapal di Seine. Ketika melewati sebuah jembatan tua, guide menyuruh tutup mata, mencium pasangan masing. Katanya jembatan ini penuh dengan sejarah, sejarah apa entah aku sudah lupa. Nama jembatannya saja sudah tak ingat. Saat itu disebelahku Alen Kurtin dan seorang pegawai cewek dari Ferma, lupa juga namanya. Yang aku ingat wajahnya kecinacinaan. Aku masih sendiri, belum punya mama.

Sebelum menuju tempat janjian, aku, Iskandar, Rio, Dadik, Arvin, Paul mampir ke Gaite. Gaite merupakan jalan biasa, sama seperti di dekat hotelku. Yang membedakan hanya disitu banyak penjual DVD bokep. Alen Kurtin yang memberi tahu. Gaite sendiri katanya punya arti kesenangan. Yang kita tuju rue de Gaite, jalan Gaite. Semua masuk, kecuali aku. Aku berjalan sendiri menuju pojokan jalan, membuat coretan blog ini. Karena mentok aku kembali ke tempat semula. Arvin, Paul, Iskandar sudah berdiri di pinggir jalan, menunggu dua lainnya memilih film. Dari luar tak disangka itu toko DVD bokep dan alat bantu seks. Diluar hanya tertulis DVD, gatged, dan beberapa kata yang aku lupa. Semua tak mencerminkan seks. Yang membuat curiga kenapa toko tersebut tertutup kelambu terus. Toko yang lain tertutup daun pintu seperti toko pada umumnya. Kacanya juga gelap tak tembus pandang kedalam. Ternyata, hehehe. Yang ditunggu keluar juga, mereka membeli bundel DVD. Total yang mereka beli berdua 80 film. Wowwwww! Kami kembali ke hotel karena masih ada 1 jam sebelum jam janjian.

Setengah tujuh lebih kami sampai di tempat janjian. Disitu sudah ada rombongan yang lain. Iskandar, Oni, Agung, dan Yusron. Tingkahnya turis banget, nampang berpose berlatarbelakang menara Eifel. Kami masih harus menunggu Bada dan Jean Marc. Dari hotel aku sudah berencana untuk membaca novel yang aku bawa, kamera tetap aku bawa. Kuhabiskan waktu menunggu untuk membaca. Ditepi Kali Bekasi judulnya, masih karya Pram. Aku bersandar menghadap ke Seine. Pikiranku dibawa ke tahun 1946, masa mempertahankan kemerdekaan dari Nica. Aku tersentak kaget. Dibelakangku beberapa pemuda berwajah arab berlarian kencang dari arah Eifel menjauh ke Trocadero. Ditangannya terdapat bungkusan kresek berisi suvenir miniatur Eifel. Mereka pedagang suvenir ilegal. Keberadaannya dikejar-kejar aparat, walau yang kutahu hanya untuk menggertak supaya tidak berkeliaran dibawah Eifel. Pemuda yang terkhir berjalan santai saja, tak terlihat dia membawa dagangan. Ia menghampiriku. Aku sendirian membaca buku, yang lain ya seperti itulah. Arvin pun sempat nyeletuk, "Sudah bosan motret disini ya?". Cuaca sore ini indah nian, matahari bersinar menyamping membentuk dimensi, pas untuk berburu foto salon. Tapi suhu tetap dingin, bahkan tanganku seperti mati rasa. Dengan wajah tak bersahabat pemuda berwajah arab tadi berkata.
"How much money do you have?"
Kututup novel yang sedang kubaca, kupandang dia dengan wajah diset bengis. Yakin aku dia tidak akan berani berbuat yang macam-macam. Keberadaan dia saja tidak diharapkan disini, apalagi jika sampai membuat onar. Benar saja. Dia melengos begitu saja, membaur dengan kawan-kawannya yang berlarian tadi. Kulihat mereka bergerilya menawarkan suvenir lagi, agak jauh dari tempatku berdiri.

Bada datang, ternyata Jean Marc sudah mengantri tiket di dekat dermaga. Ciri yang mudah aku tandai adalah kepalanya yang 'mengkilap'. Kulihat kapal sudah ramai penumpang. Segera kami naik setelah mendapat tiket. Aku menuju dek belakang yang terbuka, meneruskan membaca. Anginnya kencang sekali.

Semakin sore semakin dingin membeku. Kapal mulai berjalan. Dek belakang ramai sekali, tentu menikmati perjalan dengan kapal di sungai Seine lebih menarik jika di area terbuka. Eksotisme eropanya lebih terasa. Aku berdiri menghadap sungai, membelakangi kapal. Kuteruskan membaca. Disebelah kiriku grup dari Italy, lebih dari 15 orang. Mayoritas kaum hawa. Mereka bernyanyi-nyanyi gembira, seperti paduan suara gereja. Terus tertawa, keras sekali. Sepertinya ada yang menjadi objek ledekan. Nyanyi lagi, semakin berisik. Aku tahu mereka dari Italy karena lagi yang mereka bawakan berbahasa Italy. Aku pernah sekali ke Italy, Milano. Makanya sedikit tahu pengucapan khas gaya Italy.

Paris memang indah, dinikmati dari sudut manapun. Romantis. Sayang sekali aku sendirian, tak ada mama mendampingiku. Kalau ada sudah aku cium kali, hehehe. Jika suatu saat nanti bisa mengajak mama berlibur ke Paris, Kintan aku titipkan di mbahnya, Turen atau Tulungagung :D. Maafkan kenakalan papamu ini Nak.

Persis dikanankiriku berdiri gadis-gadis eropa. Aku sudah berbalik. Sebelah kanan beberapakali kupergoki melirik kearahku. Kulitnya putih bertotol, memakai kacamata ala artis. Umurnya paling berkisar 25an. Sebalah kiri dua orang abg. Dia juga curi-curi pandang. Mungkin mereka heran melihatku yang asyik larut membaca di tengah indahnya wisata berperahu di Seine. Indahnya Paris ditelan heroiknya novel ini. Kututup sejenak, hendak mengambil nafas jeda. Abg di sebelah kiriku melirik sampul novelku. Aku tahu karena posisiku lebih tinggi daripadanya. Dan juga dia benar-benar persis disebelahku. Kutoleh dan dia tersenyum. Dia bertanya buku apa yang aku baca. Dipikirnya buku tentang Paris. Segera aku jelaskan garis besar cerita novel ini. Aku ajak kenalan, aku memperkenalkan diri dulu.
"Where are you from?"
"Greece", jawabnya.
"Wow, european champion."
Namanya Meilina dan yang satu Maria. Disebelahku ada Mas Dadik, kuperkenalkan juga dia ke dua perempuan tadi. Mulailah kami berbasa-basi. Dalam rangka apa kemari, menginap dimana, dengan siapa saja, sampai kapan tinggal. Lumayan untuk mengasah inggrisku yang payah. Mereka pamit masuk kedalam, rupanya kedinginan. Jean Marc dan Bada menghampiriku, diikuti rekan-rekan yang lain, masih dengan berfoto-foto ria. Rupanya Bada juga suka membaca novel, dia menunjukkan buku yang dibawa. Mulai deh aku menjajal inggrisku dengan ngecap bercerita Pramoedya. Kulihat di pinggir sungai ada pemuda digeledah polisi. Mas Dadik masih asyik berburu pori-pori. Kami turun di belakang Notre Dame.

Bersebelas kami melanjutkan perjalana dengan jalan kaki. Tiba di sebuah bangunan megah. Namanya Hotel de Ville. Terpikir olehku itu sebuah hotel, tapi kok besar dan luas sekali. Ternyata itu adalah city hall. Setelah puas berfoto kami berjalan lagi menyeberangi jalan setelah lampu bergambar orang menyala hijau. Jadi ingat wawancara dengan fotografer dari VII yang menetap di Bali, ah siapa ya namanya. Dia menjawab "Yang paling berbahaya adalah menyeberang jalan di Jakarta" ketika ditanya apa yang paling berbahaya yang dia alami selama menjadi jurnalis. Mama pasti mengerti yang ini. Tak terasa sampailah di Centre of Pompidou. Bangunan modern yang luas dan megah, tapi dikelilingi bangunan berarsitek klasik. Didalamnya ada perpustakaan, museum. Semua berkisar tentang modern art. Toko suvenir di depannya juga menjual yang sama. Jika di Jakarta lewatlah di Sudirman. Disitu dibangun gedung perkantoran yang megah dan berkesan modern. Tapi 'dirusak' oleh gaya eropa klasik Davinci. Perbangingan terbalik yang aku pikir pas. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan metro, aku tak ingat apa stasiunnya. Aku hanya mengekor saja kali ini.

Kami makan malam di restoran Cina. Aura cina langsung berasa begitu masuk pintu utama, warna merah mendominasi ornamen ruang. Tembok ditutup dengan kaca bercermin sehingga berkesan luas. Saking mengkilapnya bisa dikira jalan tembus. Meja kami bulat, tengahnya bisa berputar untuk menggilir menu. Aku duduk disebalah Bada. Obrolan di kapal tadi berlanjut dan meluas. Kami membicarakan film, novel, dan sedikit keluarga. Aku takut menyinggung privasi jika sudah berbicara masalah ini. Indonesia dan eropa punya budaya yang berbeda, termasuk batas privasi. Dari situ aku tahu Bada berumur 42, mempunya 3 orang anak, 2 putri dan 1 putra. Yang tertua kalau tidak salah 11 tahun, yang termuda 5 tahun. foto anak laki-lakinya ditaruh digantungan kunci, dia menunjukkan kepadaku. Ganteng. Istrinya bekerja di rumah, membuat usaha penitipan anak. Aku cerita film Dady Day Care, Edhie Murphi bintang utamanya. Mirip dengan usaha istrinya, hanya difilm para bapak yang menjaga. Jam 23:00, kami masih duduk ngobrol. Beberapa sudah mengelus perut dan ngantuk. Jean Marc masih saja menawari nongkrong, menghabiskan malam di cafe. Tentu kami tolak.

Di Depok sekarang tanggal merah, Jumat yang terjepit diliburkan. Kami yang di Paris tetap bekerja. Pukul 06 pagi waktu Depok aku tertidur dibalik selimut tebal.


- 29 Maret 2006, 60 Rue Etiene Dolet -

No comments: