Monday, May 1, 2006

Protes yang Elegan

Ketika aku masih sekolah SD sampai SMP banyak aku dengar kalau Indonesia itu masyarakatnya ramah. Tampaknya kenyataan ini hanya ada di brosur pariwisata. Dimana setiap senyum berarti kepingan rupiah. Kenyataan riil? Demo berakhir rusuh. Protes berujung pengrusakan membabibuta, pembakaran, yang paling ringan sweeping. Menyedihkan.

Banyak yang bilang berbeda pendapat itu biasa di alam demokrasi, tapi kenyataannya sering kali perbedaan tersebut disudahi dengan tindak anarkis. Berbeda 180 derajad antara mulut dan tangan.

Untunglah masih ada pihak-pihak yang mengutarakan perbedaan pendapatnya dengan elegan, dengan cara yang santun. Mereka mengajariku bagaimana menyatakan protes ketika mereka merasa harus melayangkannya. Pramoedya yang ditindas Orde Baru menggunakan buku sebagai media protes. Iwan Fals, Dewa, Jamrud memanfaatkan lirik lagu sebagai ajang menyampaikan pendapatnya. MMI membakar buku-buku beraliran kiri dengan membeli buku tersebut sebelumnya. Penolak RUU APP menggunakan pawai budaya untuk menyuarakan keberagaman budaya yang terancam punah jika RUU APP disahkan. Pihak pendukungnya menyelenggarakan istighosah sebagai dukungan moral kepada legislatif.

Kemarin sore ketika menonton TV, sekilas melihat tayangan infotaintment yang memberitakan pemblokiran karaoke milik Inul Daratista oleh Forum Betawi Rempug. Tindakan ini sudah menyalahi hukum. Tak ubahnya FPI yang merusak kantor penerbit Playboy Indonesia. Seperti sudah biasa kita dengar, FPI sudah berkali-kali diberitakan bertindak anarkis sak karepe dewe, sak enak udele dewe. Aku belum pernah membaca, mendengar bahwa legal sebuah organisasi/massa merusak, menutup usaha orang lain yang sah secara hukum. Indonesia negara hukum, mempunyai hukum dan aparat-aparatnya (walau terkenal sangat korup), tapi bukan berarti main hakim sendiri menjadi sah di negeri ini. Atau memang itulah budaya Indonesia? Budaya main hakim sendiri.

Sampaikanlah protes dengan cara yang cerdas, elegan. Tunjukkan ketinggan budaya kita. Masih ingatkah Anda ketika sebuah survey di Jogja beberapa tahun lalu mengatakan 90% (aku lupa angka pastinya) mahasiswi tidak perawan? Hasil survey ini menggegerkan para orang tua yang memiliki putri yang akan dan sedang menempuh kuliah di kota gudeg itu. Aku lihat ini sebagai sebuah sinyal protes dari pihak-pihak yang merasa berkepentingan menyuarakan kepeduliannya pada moral. Protes yang cerdas. Tanpa ada gertakan razia-razia pemilik kost disana langsung tergerak menertibkan rumah kost mereka. Cerdas bukan?

Masih hangat diberita-berita soal kerusuhan pilkada Tuban. Sekali lagi menunjukkan rendahnya budaya masyarakat Indonesia. Harusnya mereka bisa berkaca pada kasus pilkada Depok. Protes melalui saluran yang disediakan KPU digunakan dengan efektif, sampai tingkat Mahkamah Agung. Memang ada benturan-benturan di masyarakat saat itu, tapi tidak sampai ke tindak pengrusakan.

Hari ini, 1 Mei 2006, para buruh berdemo menyuarakan suara mereka. Draft revisi UU ketenagakerjaan menyulut aksi ini. Serikat pekerja di kantorku mengirim beberapa orang untuk ikut berdemo, entah berapa jumlahnya. Sayang, saat ini aku single fighter, karena aku ingin ikut turun ke jalan. Semua pihak berharap demo akan berlangsung damai. Tidak ada pengrusakan atau tindak anarkis lain. Sekilas di televisi aku lihat mereka yang berdemo mendorong-dorong pagar besi. Gejala-gejala anarkis mulai terlihat. Akankah demo buruh diidentikan dengan anarkisme?

- yang menjadi buruh sejak 10 Oktober 2000 -

No comments: