Aku berduka cita. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini berduka kehilangan sastrawan terbesarnya? Kenyataannya banyak orang Indonesia yang tidak kenal beliau. Ataupun kalau kenal langsung melekatkan memicingkan kedua alis begitu mendengar namanya disebut. Stempel dia adalah PKI masih melekat dibenak beberapa orang Indonesia. Tak dipungkiri dia memang beraliran kiri. Siapapun penguasa saat itu jika ada yang menurut dia tidak benar dia akan bersuara. Dan penjara sebagai ganjaran. Membaca beberapa halaman bukunya, Realisme Sosialis sedikit menguak misi apa dibalik karya-karyanya. Yang aku tahu selama ini hanya dia dimusuhi Orde Baru karena keterlibatannya di Lekra, lembaga kesenian yang berafiliasi dengan PKI. Tentu generasi seperti aku tidak tahu kondisi tahun 60an yang sesungguhnya. Sejarah yang dipelajari di sekolah sudah dimodifikasi versi penguasa saat itu. Beda orang beda penuturan. Mereka yang pro kiri akan berkata X, yang pro kanan berkata Y. X dan Y saling bertentangan, saling menjatuhkan. Entahlah mana yang benar dari semua yang mengaku benar.
Terlepas dari semua itu, aku merupakan pengagum karya-karya beliau. Komunis, sosialis, kapitalis, pancasilais, atau is apapun aliran dia aku tidak mempermasalahkan. Kritik-kritik dia untuk negeri ini sangat masuk akal dikaitkan dengan kondisi carut-marut saat ini. Tanpa tedeng aling-aling dia mengungkapkan uneg-unegnya di buku Saya Terbakar Amarah Sendirian yang berisi wawancara Pram dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira.
Minggu (30/04/2006) sekitar pukul 08:30 dia menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau meninggal di usia 81 tahun sejak kelahirannya 6 Februari 1925. Lepas sudah semua beban yang beliau emban selama ini. Pekuburan Karet menjadi tempat penantian kiamat nanti. Semoga Allah memberinya jalan yang mudah di akhirat. Sebagaimana yang saya tahu dia mengaku tidak percaya Tuhan (baca buku Saya Terbakar Amarah Sendirian). Ketika kondisinya kritis, keluarga menuntun beliau tuk mengucap kalimat tahlil dan istighfar.
Selamat jalan Bung! Ragamu telah mati, tapi tidak dengan buah pikirmu. Kalau macan mati meninggalkan belang, Pram mati mewariskan pemikiran besar untuk negeri ini.
Terlepas dari semua itu, aku merupakan pengagum karya-karya beliau. Komunis, sosialis, kapitalis, pancasilais, atau is apapun aliran dia aku tidak mempermasalahkan. Kritik-kritik dia untuk negeri ini sangat masuk akal dikaitkan dengan kondisi carut-marut saat ini. Tanpa tedeng aling-aling dia mengungkapkan uneg-unegnya di buku Saya Terbakar Amarah Sendirian yang berisi wawancara Pram dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira.
Minggu (30/04/2006) sekitar pukul 08:30 dia menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau meninggal di usia 81 tahun sejak kelahirannya 6 Februari 1925. Lepas sudah semua beban yang beliau emban selama ini. Pekuburan Karet menjadi tempat penantian kiamat nanti. Semoga Allah memberinya jalan yang mudah di akhirat. Sebagaimana yang saya tahu dia mengaku tidak percaya Tuhan (baca buku Saya Terbakar Amarah Sendirian). Ketika kondisinya kritis, keluarga menuntun beliau tuk mengucap kalimat tahlil dan istighfar.
Selamat jalan Bung! Ragamu telah mati, tapi tidak dengan buah pikirmu. Kalau macan mati meninggalkan belang, Pram mati mewariskan pemikiran besar untuk negeri ini.
No comments:
Post a Comment