Friday, April 7, 2006

SQ dan Film Indonesia

Tak kurang dari 12 jam untuk menempuh perjalanan Paris - Singapura (dan sebaliknya) untuk kemudian melanjutkan ke Jakarta. Untunglah penerbangan minggu naik Singapore Airlines, biasanya disingkat SQ. Biasanya aku naik Air France, dari namanya sudah dikenal maskapai negara Perancis. Jika naik Air France aku bisa dapat 1 tiket terbang gratis ke negara eropa lain selain negara yang aku kunjungi. Dengan SQ tidak. SQ lebih mahal.

Ternyata harga mahal itu dibayar di pelayanan. Sepanjang perjalanan setiap beberapa menit (tentu tidak 10 menit sekali) pramugari-a mondar-mandir menawarkan snack dan minuman. Snack yang ditawarkan pertama kacang oven. Gurih, tidak terlalu asin. Giliran minuman yang ditawarkan, juga tissu untuk membersihkan tangan habis makan kacang. Minuman juga beragam, air minum biasa, wine, bir. Standar penerbangan internasional. Tak lama berselang roti keras tawar khas Eropa. Diikuti minuman lagi. Makan berat 2 kali, semunya asian taste. Sangat masuk ke lidahku. Tak sempat rasanya kelaparan di pesawat.

Lain makanan lain hiburan. SQ menawarkan lebih dari 70 film dalam satu penerbangan dan puluhan musik! Sayang aku tidak sempat merasakan musiknya. Asyiknya lagi, film yang kita pilih bisa di pause, rewind, forward semau sendiri. Di Air France jika sudah terlambat ya terlambat, harus nunggu putaran berikutnya. Film juga bukan sembarang film, film kategoti baru juga ada, jangan ditanya yang sudah lama diputar di 21, karena pasti ada. Genre film juga beragam. Drama, laga, komedi. Masing-masing genre ada beberapa pilihan. Tapi ada yang membuat aku sedih. Tak satupun film Indonesia ada disitu :(. Asia diwakili India, Cina, Thailand. Seingatku 3 negara itu, mungkin ada lagi tapi aku gak tahu. Kalau musik sepertinya ada musik arab. Aku pikir Indonesia tak kalah dengan 3 negara tersebut. Indonesia punya sineas handal macam Garin Nugroho, Riri Riza, Mira Lesmana. Sayang sekali.

Memang jika diamati secara umum film Indonesia masih begitu-begitu saja. Tak jauh dari tema pop, cinta ABG. Kenapa hanya film-film seperti itu yang banyak dibuat di Indonesia? Apa selera masyarakat masih 'rendah' sehingga sineas-sineas malas membuat tema yang 'berat'. Indonesia negara maritim, punya pelaut handal, pasti banyak cerita bisa digali dari sana. Masak kalah dengan The Perfect Storm? Indonesia punya cerita perjuangan yang tak kalah dengan Perang Dunia. Peristiwa 10 November di Surabaya contohnya. Dasyatnya peristiwa ini aku pikir pantas diangkat ke layar perak. Sangat amat disayangkan cerita-cerita besar negeri ini tak mampu mengalahkan bualan busuk film (dan sinetron) garapan lokal.

Musik dan film sebelas duabelas. Sama saja ... produser hanya berpikir uang, uang, dan uang. Kreativitas nanti dulu.

:(, maaf jadi ngelantur tak karuan.

No comments: