Thursday, April 6, 2006

Catatan perjalanan : hari kelima training

Wuhhhh, tak terasa hari ini hari terakhir training. Sebentar lagi aku pulang dan bisa menggendong buah hatiku. Sudah kangen sekali rasanya.

Yang istimewa di hari terakhir training ini adalah makan siangnya. Kami dijamu di restoran Thailand. Beberapa teman yang sudah pernah merasakan masakan Thai mengeluh karena rasanya yang asam pedas gak jelas. Aku sendiri belum pernah merasai masakan Thai. Didepan restoran terpampang logo bintang 3. Wow, standar internasional dong.

Menu pembuka sepertinya membenarkan perkataan teman tadi. Aku memesan beef salad. Daging sapi dicampur daun sawi. Cenderung asam rasanya. Apa ini alamat semua masakan nanti berasa asing dilidah? Ternyata tidak. Menu utama sangatlah menggoda nafsu makan. Steam Fish. Penyajiannya : ikan direbus di suatu wadah, wadah tersebut dibuat dari daun pisang, dibumbui dan ditambahkan santan. Jangan tanya rasanya, karena pasti susah aku ungkapkan. Passss banget. Hati terdalam ingin nambah nasi, tapi perut menyangkal karena sudah ambang batas kenyang. Penutupnya mangga afrika yang bohai. Semua senang semua puas! Hanya restoran Indonesianya Pak Umar Said yang bisa menandingi makan siang hari ini.

Kami kembali ke ruang training dengan senyum kekenyangan. Sayang, kenapa baru hari terakhir kami tahu ada restoran yang uenak itu. Jangan-jangan orang Ferma sengaja mengundang di hari terakhir saja, karena harga makanan disitu yang lebih mahal dari restonya Maria. Jangan kuatir, kang Henry yang akan berangkat ke Paris akhir bulan ini akan kukompori tuk makan disana saja. Materi training tinggal dua slide lagi. Bada menerangkan dengan cepat karena materinya masih mirip-mirip dengan hari sebelumnya. Training selesai dan semua mendapat sertifikat. Kalau semua sertifikat trainingku dikumpulkan, semuanya dari Ferma, hahaha. Tak berkembang, berputar-putar di itu-itu saja.

Training sudah selesai, teman-teman sudah pulang dan melanjutkan perburuan oleh-oleh di Montmartre. Di Jakarta ada masalah, banyak pengisian pulsa yang gagal. Semua berharap aku bisa remote dari Paris. Aku ke meja Jean Marc ditemani Ony. Pinjam laptopnya. Gak enak juga mengganggu kerja dia, bagaimanapun aku tamu disini.

Lama aku bekerja di laptopnya. Beberapa kali dia bertanya kapan selesainya. Tak enak rasanya numpang. Hari ini hari Jumat, semua karyawan siap-siap liburan. Jam kantor berakhir jam 6 sore. Beberapa temannya sudah pamitan liburan weekend. Anjtriiitt. Masih banyak yang harus aku selesaikan. Sekali lagi aku minta maaf ke Jean Marc.

Akhirnya selesai sudah. Kukabari Zikri, dia yang menenangkan dealer yang sudah berteriak karena pelanggannya komplain. Ony yang sedari tadi nunggu aku ajak pulang dan menyusul teman-teman. Kami kembali ke hotel terlebih dahulu, menaruh dokumen training.

Tujuan kami berikutnya adalah Sacre Cour, gereja tua di kawasan Montmartre. Kawasan Monmartre bagiku sangat eksotis. Berjalan di gang-gang sempitnya yang beralasakan batu serasa memasuki Paris jaman dulu. Aku tahu eksotisnya kawasan ini gara-gara tersesat ketika entah aku lupa tahun berapa berjalan-jalan mencari Sacre Cour. Disini juga banyak disebut sebagai kawasan seniman, terutama pelukis. Dibelakang Sacre Cour letaknya, sebuah taman kecil dikelilingi kafe, berjajar pelukis-pelukis Paris. Kebanyakan pelukis portrait. Harga lukisannya mahal, setidaknya menurut dompetku. Tapi kuakui lukisan hasil mereka bagus, melihatnya serasa memasuki alam diluar sadarku. Masing-masing punya gaya tersendiri, mereka bukan lagi mencari jatidiri dalam karyanya. Ada yang senang bereksplorasi dengan cat air, bahkan pensil. Dandanan mereka pun juga punya gaya, boleh disimpulkan ciri-cirinya : rambut gondrong tak terurus, sebagian bertopi, pakaian kumal penuh noda cat minyak atau cat air, mata cekung. Beberapa orang aku lihat berwajah kecinaan.

Puas berputar-putar di kampung pelukis aku menunjukkan sebuah sudut eksotis lain ke Ony. Kusebut saja Le Consulat. Beberapa foto aku ambil dari sudut ini. Ony bilang minggu depan harus kesini lagi. Tak cukup waktu yang sebentar menikmati eksotisnya old Paris.

Sms dari Rio, "Mau ikut makan gak? Kt di resto pizza di bwh". Kuteruskan jalan-jalanku dengan Ony.

Hari sudah semakin gelap, matahari sudah terbenam, lampu jalanan sudah menyala. Kami putuskan tuk turun dan makan malam karena perut sudah menuntut haknya. Kami makan kebab. Aku tahu beberapa restoran halal di sekitar Montmartre, salah satunya Al-Jawahra (semoga gak salah tulis). Satu orang enam setengeh euro untuk seporsi kebab dan sekaleng lipton ice tea. Ternyata rombongan Rio dan yang lain sudah di depan Moulin Rouge. Kami segera menyusul.

Melewati jajaran toko-toko penjaja kenikmatan seksual. "Student price, come on, student price", seorang calo berpromosi begitu kami lewat depannya. Ony yang aku lihat dasarnya anak baik gerah juga aku ajak berjalan melewati kawasan lampumerahnya Paris, Pigalle. Sepertinya dia tertarik masuk ke museum sex, tapi gak jadi. Kami berkumpul di depan Moulin Rouge. Agung dan ... (aduh siapa ya aku lupa) sudah pulang terlebih dahulu. Semuanya telah memborong kaos buat oleh-oleh. Wajah kuyu capek berjalan dan berbelanja tampak dimuka masing-masing. Hmmm, ... katanya rekor dipegang Yusron, 200 euroan habis di Montmartre. Sebagai acuan, untuk kaos bisa didapat 15 euro 4 potong kaos. Tentu disini rupa-rupa suvenir sangat banyak. Mulai yang paling pasaran, gantungan kunci sampai parfum murahan. Kami pulang ke hotel dan bersiap untuk menyongsong weekend. Training kali ini tidak ada negara lain yang kita kunjungi untuk mengisi libur akhir minggu.

- 31 Maret 2006, 60 Rue Eteine Dollet -

No comments: