Thursday, March 2, 2006

Komentar Sebelum Bekerja : Tunjangan CEO PT Freeport

Sebuah rutinitas sebelum memulai aktivitas di kantor adalah membaca detikcom. Pagi ini yang menarik mataku adalah berita tentang tunjangan CEO PT Freeport. Gila bo! 15 miliar hanya tunjangan, bahasa jalanananya ceperan. Bukan penghasilan utama. Selama aku bekerja memang tidak aneh melihat angka-angka bilangan sampai miliar bahkan triliun. Tapi itu penghasilan sebuah perusahaan, bukan (tunjangan) personal seorang karyawan perusahaan di Indonesia. Ah, mungkin pejabat-pejabat negeri ini juga mendapatkan yang tidak kalah banyaknya dari CEO Freeport Indonesia, cuma gak di blow up di media saja.

Sangat kontras jika melihat kondisi Papua dengan tunjangan yang diperoleh pejabat Freeport Indonesia. Dengan tunjangan sebesar itu orang pantas menuding bahwa keuntungan yang di peroleh dari 'merampok' Papua tidaklah main-main. Itu baru ceperan yang diperoleh karyawan, bagaimana dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan dan para pemegang sahamnya? Sudahlah tidak usah dipikirkan berapa angkanya, takut gak kuat otak kita menghitung berapa pangjang digitnya kalau dirupiahkan.

Lalu apa yang diperoleh Papua? Coba tanya mbah google, pakai keyword kerusakan akibat freeport. Kalau rasa cinta kita terhadap negeri ini
tidak terprovokasi berarti ada yang perlu dipertanyakan. Sebagai salah satu warga Indonesia aku sangat amat kecewa sekali, marah. Papua yang indah dan kaya diacak-acak oleh Amerika, 4 dasawarsa dan (semoga tidak) akan berlanjut. Lihat foto diatas, foto yang aku ambil dari halaman depan web PT Freeport Indonesia. Masihkah ada senyum manis dari saudara-sudara kita yang wajahnya terpampang di foto tersebut?

Membaca buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya semakin menyadarkanku bahwa mental pengurus bangsa ini masih seperti yang dulu. Modus yang dipakai sama dengan masa imperialisme Belanda. Orang asing memanfaatkan mandor-mandor lokal untuk memperdaya masyarakat. Dengat sedikit iming-iming kontrak puluhan tahun untuk menjarah secara legal pasti didapat. Ketika mandor lokal lengser (masa jabatan 5 tahunan), ijin penjarahan masih ditangan. Mandor baru yang bermaksud lebih kritis tidak bisa berkutik karena takut menciderai perjanjian tertulis, takut dikecam dunia internasional. Padahal si tukang kecam hanya tukang gertak yang munafik. Imperialis di jaman modern. Sekedar berandai-andai. Jika semua dikelola oleh bangsa sendiri (tentu dengan bantuan asing sebagai trainer atau tenaga ahli) apa semua akan lebih baik? Ah, bukan jaminan. Sebelum pengurus bangsa (dan semua warga negara) bersikap profesional keadaan akan berulang.

Banyak yang bilang negara ini mulai runtuh ketika Soeharto menggulingkan Pak Karno. Kemandirian yang mulai
dicanangkan Pak Karno dinodai dan kemudian dihancurkan oleh mental pengemis Orde Baru. Harga diri sudah jatuh ketika tangan berada dibawah. Budaya ABS (Asal Bapak Senang) semakin berkembang, sekarangpun masih bisa dijumpai!

Kapan ya bangsa ini mampu berdiri dengan dua kakinya sendiri?
Jawabannya, ... 3M-nya Aa' Gym.
Mulai dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai saat ini juga!

No comments: