8 April 2006 jam 8 pagi aku dan mama sampai di stasiun Gambir, kereta Gajayana entah masih dimana. Lama kami menunggu, sampai petugas menyiarkan kabar bahwa kereta Gajayana sudah masuk stasiun Jatinegara. Pun tak lama berselang muncul juga kereta yang kami tunggu-tunggu, gerbong nomor 6. Wuiihh, ternyata tempatku menunggu dilewati begitu saja oleh gerbong nomor 6, segera kuberlari mengerjarnya. Untung tidak bergitu jauh, sehingga aku bisa segera menerobos kerumunan penumpang yang turun untuk membawakan bawaan mertuaku. 1 kopor pakaian dan beberapa kardus kecil oleh-oleh. Capek di wajah ibu dan bapak mertua segera berubah menjadi senyum ketika melihat kami menyambut beliau.
Ibu dan bapak mertua datang, beliau terutama ibu hendak berlibur seminggu di Depok, menggendongi Kintanku yang makin lucu saja. Bapak yang anggota Polri tentu tidak dapat meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Ijinnya pun ijin ke Ngawi, bukan ke Jakarta. Oh ya, rumah mertuaku di Tulungagung, Jawa Timur. Kalau tidak didesak ibu entah kapan ibu akan kesampaian niatnya untuk mengunjungi kami. Wah, padahal adat jawa kan biasanya anak yang harus rajin-rajin berkunjung ke orangtua, bukan orangtua ke anak. Tak apalah, sekali-kali. Perjalanan ke Depok dilanjutkan dengan naik taksi.
Sampai juga di Depok. Wajah ibu dan bapak semakin riang tatkala melihat Kintan. Terakhir mereka melihat Kintan ketika masih umur 2 bulan. Saat itu Kintan masih belum aktif seperti sekarang, kepalanya gundul, beratnya sekitar 4 kiloan, dan masih sering tidur. Kintan menyambut sambil tiduran di ruang tengah, hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. Terlihat badan Kintan yang seksi. Selama ini kami mengirimi foto perkembangan Kintan ke mertua dan orangtuaku. Foto itu yang membuat rasa kangen bertemu cucu semakin menjadi-jadi tiap hari, apalagi ditambah dengan celoteh di telepon. Senangnya melihat ibu bapak mertua bahagia bertemu Kintan. Seperti biasanya, Kintan masih bingung siapa yang dihadapinya. Untung Kintan tak menangis ketika digendong bapak, dan karena bapak yang terus menggodanya Kintan jadi cepat menyesuaikan diri, merasa tak asing lagi. Alhamdulillah.
Kamar untuk istirahat mertua belum siap, mama menyilahkan istirahat di kamar kami saja. Aku dan mama ke ruko untuk membeli kasur Palembang. Kamar yang disiapkan untuk istirahat mertuaku masih berantakan. Lokasinya pas disebelah kamar kami. Bukan berantakan, tapi masih berisi kardus-kardus bekas pindahan. Tertata tapi, tak berserakan begitu saja. Tapi juga tidak nyaman kalau dipakai tidur begitu saja, disamping itu tak akan muat dimasuki ranjang nomor 2. Menjelang magrib aku dibantu bapak dan mbak ma mengeluarkan kardus-kardus tersebut, ditaruh di ruang tengah begitu saja. Aku dan bapak mengerluarkan ranjang dari kamarku dan ditaruh di kamar sebelah. Pas, pas banget. Kardus-kardur tidak semua dikeluarkan, tapi dibantu dengan penerangan yang terang terasa layak untuk kamar tidur. Ranjang pegas ditambah kasur Palembang aku pikir pas, aku coba empuk juga. Segera setelah dilapisi seprei baru ibu dan bapak bisa beristirahat dengan nyaman. Kintan aku taruh ditengah-tengah mereka. Dan Kintan segera membuat kekacauan dengan berguling-guling menginvasi tempat tidur utinya. Hahahaha, dari kamar aku dan mama senyum-senyum saja.
Hari berganti. Pagi yang indah. Lokasi rumah yang jauh dari Jakarta tak membuat mertua berkomentar negatif. Beliau kata mama malah memuji kami, lingkungan nyaman dan tenang, jauh dari bising, udara bersih bisa dihirup dengan mudah, rumah yang tak panas dan pengap, dan tetangga yang berdekatan. Sebelumnya dalam bayangan ibu, rumahku terpencil karena aku bilang berada dipinggir hutan, tetangga-tetangga masih jarang, jauh dari dunia luar. Segera semua berubah ketika merasakan sendiri. Eh, yang benar satu, jauh. Rumahku memang jauh dari tempat kerja, 1 jam lebih naik motor, tentu kondisi macet. Ibu berjalan-jalan menikmati pagi dengan bapak.
Dibenak bapak ada yang masih kurang. Dihalaman depan ada air mancur yang suaranya menyejukkan. Beliau bilang kok tidak ada tanaman. Ya kami memang belum melengkapinya, padahal mama tiap liburan akhir minggu selalu mengingatkan. Satu lagi, kursi. Hehehe, dirumahku semu serba lesehan. Selesai sarapan bapak pergi mengendarai motor, beliau ingin lebih mengenal Depok. Tak disangka bapak datang sambil membawa 2 buah kursi plastik dan mejanya. Beliau pergi lagi. Pulang membawa kursi dan meja plastik lagi, kali ini diperuntukkan didalam. Aku sedikit tengsin, hehehe. Adanya kursi di halaman depan semakin membuat semarak rumah. Kami jadi lebih nyaman berkumpul di halaman depan, menikmati gemericik suara air. Sampai disuatu siang ...
Bapak mendapat kabar dari kantor. Hari Rabu, 12 April bapak akan dilantik menjadi kapolsek. Posisi saat ini beliau sebagai kanitlaka, sebelumnya juga kapolsek. Bapak ditawati posisi penting si lantas tapi menolak dengan alasan tidak mau jauh dari ibu. Sungguh, selain sebagai abdi negara yang loyal, bapak juga suami yang sangat cinta keluarga. Beliau lebih memilih menunda naik pangkat untuk menunggu kesembuhan ibu. Beliau ingin ketika upacara serah terima jabatan didampingi ibu, lebih baik tak naik pangkat daripada ibu sendiri dirumah dan bapak dilantik, begitu pikirnya. Sekarang ibu alhamdulillah sudah sehat. Sebelumnya ibu sakit sampai setahu lamanya, ada tumor di tulangbelakang yang menyerang sumsum hingga ibu tak bisa berjalan. Operasi di Surabaya tahun lalu berhasil membawa kesembuhan, perkembangan ibu sangat pesat. Sekarang ibu sudah bisa bekerja, aura di rumah Tulungagung menjadi ceria lagi. Semua berkat pertolongan Allah lewat semua usaha tanpa lelah apalagi putus asa bapak, juga kesabaran ibu dan semua dukungan anggota keluarga. Bapak panik mendapat kabar dadakan. Bingung. Naluri abdi negara bapak lebih berbicara kali ini, bapak ingin segera pulang. Takut semua tak disiapkan dengan baik. Bagi seorang polisi saat-saat seperti ini barang tentu sudah dinanti-nanti, benar-benar spesial. Sebagai polisi yang sudah mengabdi dengan sepenuh hati pelantikan ini tidak boleh terlewatkan, apalagi ibu sudah sembuh dan siap mendampingi suami tercinta. Akan menjadi kebanggan buat bapak dan ibu dan semua anggota keluarga. Saat itu siang, menjelang dhuhur. Bapak bertanya jadwal pesawat paling pagi. Wah, padahal beliau belum pernah naik pesawat, tentu ribet. Belum lagi nanti perjalanan dari Surabaya ke Tulungagung memakan waktu yang tidak pendek, naik bis umum kurang lebih 3 sampai 4 jam. Ibu menawarkan naik kereta sore ini. Dalam benak ibu hanya menantang bapak yang panik. Ternyata bapak mengiyakan. Giliran ibu yang sedih, sedih karena baru saja melihat Kintan sudah harus pulang lagi, dan entah kapan lagi bisa bertemu. Ibu benar-benar sedih, hanya mendung yang terlihat di air muka beliau. Akhirnya kami setuju, kami setuju berjudi ke Gambir mencari tiket hari H. Aku pesan taksi. Aku tiduran sambil menunggu taksi datang. Tak lama taksi datang, aku bergegas cuci muka dan bersiap. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 14. Kopor sudah dibagasi, ibu dan mama sudah ditaksi, akupun bergegas ke kursi depan. Bapak yang akan duduk di sebelah mama bergegas keluar mobil lagi. Beliau hendak mencium Kintan lagi. Ibu sudah tak mampu berkata-kata lagi, hanya menangis meratapi betapa cepatnya pertemuan ini. Sepanjang jalan ibu diam tak berkata-kata, matanya masih merah, sekali-kali mengusap tisu membasuh air mata yang luruh. Semua tegang. Kami sampai, aku segera mencari tiket. Alhamdulillah masih ada. Bapak mulai tenang karena mendapat kepastian bisa segera pulang, walau harus menunggu 2 jam setengah lagi. Kereta berangkat setengan enam, kami hanya bisa melambaikan tangan ketika kereta beranjak, sambil berdoa agar selamat sampai di Tulungagung. Ibu bisa tersenyum membalas lambaian kami.
Senin, 10 April 2006. Ibu dan bapak sudah datang, sms mbak Ari mengabarkan kedatangan beliau. Ibu mengirim sms ke mama. Beliau bercerita tidak menikmati perjalanan. Hanya mengisinya dengan menangis, makan malampun tidak. Ibu berjanji akan ke Depok lagi, mengunjungi Kintan, tapi tanpa bapak!
Pagi-pagi Kintan sudah mandi dan minum susu. Cuaca mendung, suhu agak dingin. Kintan dipakaikan celana dan baju lengan panjang. Seperti biasanya, Kintan tidur setelah minum susu. Mama menidurkannya di kamar sebelah, tempat Uti dan Kung-nya isitirahat semalam. Lampu dimatikan. Kintan nyenyak sekali, tidurnya lebih lama dari biasanya. Mungkin dia bermimpi bertemu Uti dan Kung, Uti duduk di kursi melihat Kintan digendong sambil berlari kecil mengejari Inul.
Ibu dan bapak mertua datang, beliau terutama ibu hendak berlibur seminggu di Depok, menggendongi Kintanku yang makin lucu saja. Bapak yang anggota Polri tentu tidak dapat meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Ijinnya pun ijin ke Ngawi, bukan ke Jakarta. Oh ya, rumah mertuaku di Tulungagung, Jawa Timur. Kalau tidak didesak ibu entah kapan ibu akan kesampaian niatnya untuk mengunjungi kami. Wah, padahal adat jawa kan biasanya anak yang harus rajin-rajin berkunjung ke orangtua, bukan orangtua ke anak. Tak apalah, sekali-kali. Perjalanan ke Depok dilanjutkan dengan naik taksi.
Sampai juga di Depok. Wajah ibu dan bapak semakin riang tatkala melihat Kintan. Terakhir mereka melihat Kintan ketika masih umur 2 bulan. Saat itu Kintan masih belum aktif seperti sekarang, kepalanya gundul, beratnya sekitar 4 kiloan, dan masih sering tidur. Kintan menyambut sambil tiduran di ruang tengah, hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. Terlihat badan Kintan yang seksi. Selama ini kami mengirimi foto perkembangan Kintan ke mertua dan orangtuaku. Foto itu yang membuat rasa kangen bertemu cucu semakin menjadi-jadi tiap hari, apalagi ditambah dengan celoteh di telepon. Senangnya melihat ibu bapak mertua bahagia bertemu Kintan. Seperti biasanya, Kintan masih bingung siapa yang dihadapinya. Untung Kintan tak menangis ketika digendong bapak, dan karena bapak yang terus menggodanya Kintan jadi cepat menyesuaikan diri, merasa tak asing lagi. Alhamdulillah.
Kamar untuk istirahat mertua belum siap, mama menyilahkan istirahat di kamar kami saja. Aku dan mama ke ruko untuk membeli kasur Palembang. Kamar yang disiapkan untuk istirahat mertuaku masih berantakan. Lokasinya pas disebelah kamar kami. Bukan berantakan, tapi masih berisi kardus-kardus bekas pindahan. Tertata tapi, tak berserakan begitu saja. Tapi juga tidak nyaman kalau dipakai tidur begitu saja, disamping itu tak akan muat dimasuki ranjang nomor 2. Menjelang magrib aku dibantu bapak dan mbak ma mengeluarkan kardus-kardus tersebut, ditaruh di ruang tengah begitu saja. Aku dan bapak mengerluarkan ranjang dari kamarku dan ditaruh di kamar sebelah. Pas, pas banget. Kardus-kardur tidak semua dikeluarkan, tapi dibantu dengan penerangan yang terang terasa layak untuk kamar tidur. Ranjang pegas ditambah kasur Palembang aku pikir pas, aku coba empuk juga. Segera setelah dilapisi seprei baru ibu dan bapak bisa beristirahat dengan nyaman. Kintan aku taruh ditengah-tengah mereka. Dan Kintan segera membuat kekacauan dengan berguling-guling menginvasi tempat tidur utinya. Hahahaha, dari kamar aku dan mama senyum-senyum saja.
Hari berganti. Pagi yang indah. Lokasi rumah yang jauh dari Jakarta tak membuat mertua berkomentar negatif. Beliau kata mama malah memuji kami, lingkungan nyaman dan tenang, jauh dari bising, udara bersih bisa dihirup dengan mudah, rumah yang tak panas dan pengap, dan tetangga yang berdekatan. Sebelumnya dalam bayangan ibu, rumahku terpencil karena aku bilang berada dipinggir hutan, tetangga-tetangga masih jarang, jauh dari dunia luar. Segera semua berubah ketika merasakan sendiri. Eh, yang benar satu, jauh. Rumahku memang jauh dari tempat kerja, 1 jam lebih naik motor, tentu kondisi macet. Ibu berjalan-jalan menikmati pagi dengan bapak.
Dibenak bapak ada yang masih kurang. Dihalaman depan ada air mancur yang suaranya menyejukkan. Beliau bilang kok tidak ada tanaman. Ya kami memang belum melengkapinya, padahal mama tiap liburan akhir minggu selalu mengingatkan. Satu lagi, kursi. Hehehe, dirumahku semu serba lesehan. Selesai sarapan bapak pergi mengendarai motor, beliau ingin lebih mengenal Depok. Tak disangka bapak datang sambil membawa 2 buah kursi plastik dan mejanya. Beliau pergi lagi. Pulang membawa kursi dan meja plastik lagi, kali ini diperuntukkan didalam. Aku sedikit tengsin, hehehe. Adanya kursi di halaman depan semakin membuat semarak rumah. Kami jadi lebih nyaman berkumpul di halaman depan, menikmati gemericik suara air. Sampai disuatu siang ...
Bapak mendapat kabar dari kantor. Hari Rabu, 12 April bapak akan dilantik menjadi kapolsek. Posisi saat ini beliau sebagai kanitlaka, sebelumnya juga kapolsek. Bapak ditawati posisi penting si lantas tapi menolak dengan alasan tidak mau jauh dari ibu. Sungguh, selain sebagai abdi negara yang loyal, bapak juga suami yang sangat cinta keluarga. Beliau lebih memilih menunda naik pangkat untuk menunggu kesembuhan ibu. Beliau ingin ketika upacara serah terima jabatan didampingi ibu, lebih baik tak naik pangkat daripada ibu sendiri dirumah dan bapak dilantik, begitu pikirnya. Sekarang ibu alhamdulillah sudah sehat. Sebelumnya ibu sakit sampai setahu lamanya, ada tumor di tulangbelakang yang menyerang sumsum hingga ibu tak bisa berjalan. Operasi di Surabaya tahun lalu berhasil membawa kesembuhan, perkembangan ibu sangat pesat. Sekarang ibu sudah bisa bekerja, aura di rumah Tulungagung menjadi ceria lagi. Semua berkat pertolongan Allah lewat semua usaha tanpa lelah apalagi putus asa bapak, juga kesabaran ibu dan semua dukungan anggota keluarga. Bapak panik mendapat kabar dadakan. Bingung. Naluri abdi negara bapak lebih berbicara kali ini, bapak ingin segera pulang. Takut semua tak disiapkan dengan baik. Bagi seorang polisi saat-saat seperti ini barang tentu sudah dinanti-nanti, benar-benar spesial. Sebagai polisi yang sudah mengabdi dengan sepenuh hati pelantikan ini tidak boleh terlewatkan, apalagi ibu sudah sembuh dan siap mendampingi suami tercinta. Akan menjadi kebanggan buat bapak dan ibu dan semua anggota keluarga. Saat itu siang, menjelang dhuhur. Bapak bertanya jadwal pesawat paling pagi. Wah, padahal beliau belum pernah naik pesawat, tentu ribet. Belum lagi nanti perjalanan dari Surabaya ke Tulungagung memakan waktu yang tidak pendek, naik bis umum kurang lebih 3 sampai 4 jam. Ibu menawarkan naik kereta sore ini. Dalam benak ibu hanya menantang bapak yang panik. Ternyata bapak mengiyakan. Giliran ibu yang sedih, sedih karena baru saja melihat Kintan sudah harus pulang lagi, dan entah kapan lagi bisa bertemu. Ibu benar-benar sedih, hanya mendung yang terlihat di air muka beliau. Akhirnya kami setuju, kami setuju berjudi ke Gambir mencari tiket hari H. Aku pesan taksi. Aku tiduran sambil menunggu taksi datang. Tak lama taksi datang, aku bergegas cuci muka dan bersiap. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 14. Kopor sudah dibagasi, ibu dan mama sudah ditaksi, akupun bergegas ke kursi depan. Bapak yang akan duduk di sebelah mama bergegas keluar mobil lagi. Beliau hendak mencium Kintan lagi. Ibu sudah tak mampu berkata-kata lagi, hanya menangis meratapi betapa cepatnya pertemuan ini. Sepanjang jalan ibu diam tak berkata-kata, matanya masih merah, sekali-kali mengusap tisu membasuh air mata yang luruh. Semua tegang. Kami sampai, aku segera mencari tiket. Alhamdulillah masih ada. Bapak mulai tenang karena mendapat kepastian bisa segera pulang, walau harus menunggu 2 jam setengah lagi. Kereta berangkat setengan enam, kami hanya bisa melambaikan tangan ketika kereta beranjak, sambil berdoa agar selamat sampai di Tulungagung. Ibu bisa tersenyum membalas lambaian kami.
Senin, 10 April 2006. Ibu dan bapak sudah datang, sms mbak Ari mengabarkan kedatangan beliau. Ibu mengirim sms ke mama. Beliau bercerita tidak menikmati perjalanan. Hanya mengisinya dengan menangis, makan malampun tidak. Ibu berjanji akan ke Depok lagi, mengunjungi Kintan, tapi tanpa bapak!
Pagi-pagi Kintan sudah mandi dan minum susu. Cuaca mendung, suhu agak dingin. Kintan dipakaikan celana dan baju lengan panjang. Seperti biasanya, Kintan tidur setelah minum susu. Mama menidurkannya di kamar sebelah, tempat Uti dan Kung-nya isitirahat semalam. Lampu dimatikan. Kintan nyenyak sekali, tidurnya lebih lama dari biasanya. Mungkin dia bermimpi bertemu Uti dan Kung, Uti duduk di kursi melihat Kintan digendong sambil berlari kecil mengejari Inul.
No comments:
Post a Comment