Tuesday, May 29, 2007

Empat Mata berakhir sudah?

Tak sengaja nemu berita ini. Hilang deh bahan ketawaan di malam hari menjelang tidur atau sambil menemani mama bikin kue :(. Acara ini dari awal kelahirannya penuh kontroversial, ada yang suka dan tidak sedikit yang anti. Aku sih ndak masalah, wong hanya numpang ketawa.

Extravaganza, mmm, sudah membosankan. Om Farhan, ya dulu ini termasuk acara yang lumayan tuk ditonton ketika masih di Trans TV -Lepas Malam-, sekarang sih ... ntar dulu deh. SMS-nya Indro Warkop? Ini cenderung obrolan dewasa dan jam tayangnya malam, mending tidur aja.

Ngomong-ngomong soal Empat Mata, kemarin (28/05/'07) kantorku mengundang Empat Mata sebagai penghibur di acara puncak hari jadinya. Sayang, ada yang kurang pantas ditampilkan oleh tim Empat Mata. Yaitu ketika Tukul meminta sekretarisnya membawakan laptop ke meja. Sekretaris datang dengan rok minim, dan sengaja memposisikan diri agar keminian rok serta kemulusan kaki jenjangnya diekspos. Tukul sendiri juga merespon hal serupa, clingak-clinguk ngintip. Aku hanya bisa miris karena dibarisan terdepan penonton adalah anak-anak, benar anak-anak! Saat pertama Tukul masuk pangggung, semua terkejut tak menyangka, anak-anak langsung mengeluh-eluhkan dia. Semua tertawa ceria dengan lawakannya. Sayang sekali anak-anak harus disuguhi tontotan yang bukan seharusnya.

Monday, May 21, 2007

Panik Kala si Kecil Sakit

Disaat persiapan menjajal trek baru UI, teman sepenggenjotan bercerita bahwa anaknya sedang sakit, demam. Langsung kutimpali, "ah biasa om Hiz anak demam". Disambut pula oleh dia, "iya sih, tapi dah dua hari ini panasnya gak turun, khawatir". "Bukannya tiga hari masa observasi demam", maksudku 3x24jam gitu.

Aku kira tak ada orangtua yang gak panik kala anaknya sakit, demam misalnya. Minimal panik karena tahu si kecil bakal rewel, minta tidur sambil digendong, atau bahkan membatalkan rencana bercinta nanti malam, hahahaha. Oh ya, jangan salah, demam itu bukan penyakit lho, demam itu menandakan sedang ada 'sesuatu' yang bekerja didalam tubuh si kecil.

Aku juga punya cerita panik kala si kecil sakit. Saat itu adalah panik yang sepanik-paniknya. Lebaran tahun lalu kami -aku dan mama- alhamdulillah bisa mudik. Hari-hari pertama kami lewatkan di Turen, rumah ortuku. Kintan ceria dong, membuat suasana lebaran semakin meriah. Keceriaan itu hanya sampai kira-kira jam 9 malam pada hari yang sama kami datang. Malam habis berkunjung ke rumah saudara suhu tubuh kintan naik dengan cepat. Sial, saat itu kami tidak mempersiapkan kondisi seperti ini. Termometer tidak ada. Ya sudah ditunggu saja sampai pagi. Pagi keesokan harinya sudah bisa ditebak, Kintan rewel. Gak mau lepas dari gendongan. Kucarikan termometer dan kompres instan di apotek. Aku lupa saat itu suhu Kintan berapa derajad. Tapi yang jelas panas sekali, perkiraanku antara 38 s/d 39 derajad. Rewel dan susah makan, hanya minum susu. Sesuai SOP, demam ditunggu sampai 3x24 jam baru diambil tindakan. Kintan gendong terus sama mama, minum susu tidur (sambil digendong), begitu terus seharian. Malam kami lewatkan dengan menenangkan Kintan. Hari sudah pagi kembali. Demam belum juga pergi. Kintan mulai mau diturunkan dari gendongan. Sambil tiduran dikasur dia minum susu. Aku dan mama disampingnya terus. Rupanya dia sudah kenyang, botol dilepas. Saat itu kami juga sambil nonton tv. Kulihat Kintan tenang, gak rewel. Eits, tunggu ... ada yang salah. Kok Kintan tak bergerak-gerak. Kedua bola matanya memandang keatas seperti menerawang, sudah tidak sadar dengan sekelilingnya. Dari celah bibirnya mengalir susu yang baru diminum. Tubuhnya tetap tak bergerak, lemah sekali. Waduh, ada apa ini. Kami panik bukan kepalang. Ibuku melihat kondisi Kintan juga panik. Tanpa banyak bicara langsung dibopongnya Kintan dengan dibalut kain selendang berlari ke rumah bidan terdekat. Aku dan mama berlari mengikuti. Rasanya tak ada kalimat yang bisa menggambarkan kepanikanku saat itu. Pikiranku sudah melayang kemana-mana, membayangkan sesuatu terburuk akan terjadi. Aku takut kehilangan buah hatiku. Bidan yang kami datangi sedang tidak dirumah, beliau masih dinas. Waktu itu pagi belu lewat jam 7. Bapak menyusul dengan mengendarai motor. Langsung kuminta kuncinya, Kintan diserahkan ke mama dan kukebut ke rumah sakit terdekat. Rupanya di dekat gereja rumah sakit ada saudara yang sedang dinas, beliu menjadi tenaga sekuriti disitu. Dia kaget melihat aku pagi-pagi dengan mama membopong Kintan tergesa-gesa. Kuhampiri sebentar tuk bantu urusan di rumah sakit. Dia berlari dan aku melarikan motor ke rumah sakit. Kintan masih belum sadar. Untung ada dokter jaga. Dia langsung melakukan pemeriksaan didampingi mama. Aku diluar mengurus administrasi. Aku lihat Kintan mulai sadar, tapi masih lemas. Karena belum 3x24 jam dokter tidak melakukan pemeriksaan detil, hanya pemeriksaan standar. Rupanya suhu tubuh Kintan saat itu -kalau tidak salah- 38,8 derajad. Diberi obat, berupa sirup warna merah yang aku gak tahu apa isinya (karena gak bertanya, sudah panik duluan). Semoga hanya paracetamol sirup, bukan puyer ajaib ala dokter-dokter anak pada umumnya. Ternyata saudara-saudara, pada hari ke empat (atau kelima ya?) terjawablah penyebab demamnya Kintan. Roseola, begitu bahasa kerennya. Orang kampungku menyebutnya dengan gabaken. Disekujur tubuhnya muncul bercak merah-merah. Tenang deh hati ini begitu tahu apa penyebab kepanikan pada beberapa hari sebelumnya. Oh ya, kami sangat bersyukur pada Yang Maha Kuasa, karena Dia-lha yang menyembuhkan Kintan. Pertolongan Allah berupa informasi -yang menguatkan kami untuk tidak memberi obat apapun kepada Kintan, walau rewel dan dimarahi mertua- datang lewat GPRS. Entah stres seperti apa yang menimpa kami kala itu kalau tidak ada GPRS tuk akses internet. Sungguh teman, kami tidak bisa hidup tanpa internet, hehehehe.

Begitulah teman-teman cerita kepanikanku dan mama saat buah hati kami sakit. Walau kami -diwakili istriku tercinta :p- rajin membaca arsip-arsip milist sehat, web sehat grup tapi tetap saja masih panik dan syok. Itu manusiawi kok. Sekarang? Ya minimal aku -ya aku sendiri :p- sudah bisa berdebat dengan dokter ketika akan menulis resep tuk Kintan, hehehe. Thanks Ma, ... mmmuach!

Wednesday, May 16, 2007

Adidas Durango

Tak terasa sudah hampir 6 bulan aku menekuni aktivitas bersepeda. Dan selama itu pula aku hanya memakai sandal gunung atau sepatu seadanya. Di Puncak yang bebatuannya serem (terutama kalau jatuh) aku hanya berbekal sandal gunung. Tentu saja teman sepenggenjotan hanya bisa geleng-geleng dan bilang aku sudah kebal, hehehe. Padahal dalam hati juga khawatir. Beberapa kali main ke toko sepeda dan melihat-lihat sepatu sepeda. Rupanya sepatu sepeda didesain solnya keras, sama sekali tak lentur. Secara umum dari penampakan mereka terbagi dua, model casual dan model sport. Masing-masing model punya desain sol yang berbeda. Untuk yang model sport, gerigi sol terlihat kasar seperti sol sepatu bola. Model casual lebih rapat, dan menurut pengamatan sekilas sepertinya lebih anti selip di trek licin.

Entah angin apa saat itu yang jelas tiba-tiba aku sudah menenteng Adidas Durango warna orange nomor 40 (mama pasti bilang, ciehhhh). Sebelumnya aku tak tahu menahu sepatu ini. Soalnya yang banyak di jual di toko-toko sepeda merek-merek Shimano, 661, Sidi. So, kemungkinan besar sepatu ini gak pasaran lha :D.

Minggu kemarin (13 Mei 2007) sepatu ini resmi launching menemaniku bersepeda. Dan berikut beberapa catatan pertama kali bersepeda dilengkapi sepatu khusus sepeda. Dibanding merek sejuta umat, Shimano, sepatu ini lebih berat. Saat dipakai genjot dengan intensitas tinggi, telapak kaki kanan seperti ada yang gak enak. Bisa jadi karena sepatu masih menyesuaikan dengan bentuk kaki. Sebelah kiri tak ada masalah sama sekali. Sol yang keras membuat penyeluran energi dari kaki ke pedal merata, enak di tanjakan. Desain gerigi sol yang kasar seperti sepatu bola terasa licin saat awal-awal menempel di pedal. Rasanya seperti tidak menempel dengan kuat, ngambang. Aku takut terpeleset dari pedal. Ketika menuntun sepeda di tanjakan trek basah sol sepatu ini terasa licin, kaki sepertinya kurang menapak dibumi seperti saat pakai sandal gunung atau sepatu biasa. Seperti kata pribahasa ala bisa karena biasa.

Saat ini aku masih memakai pedal flat standar bergerigi kasar yang sakit sekali kalau beradu dengan tulang kering. Atau ... saatnya ganti pedal juga?

update :
Pedal sudah diganti dengan Wellgo C17, performa jauh lebih baik daripada pedal sebelumnya. Harga juga sangat terjangkau, cukup 130 ribu rupiah. Dalam hati ingin mencoba pedal Shimano PD-M324. Tapi karena ragu akhirnya diputuskan pakai pedal flat biasa saja, Wellgo C17. Yang jelas dua-duanya sudah pake sealed bearing.

Friday, May 11, 2007

Mana Inovasimu?

Suatu hari, jajaran direksi sebuah perusahaan mengumpulkan anak buahnya sampai tingkat manager - dan spesialis yang selevel -. Gosipnya mereka dikumpulkan karena target keuntungan perusahaan tidak tercapai. Bergantian para direksi memberi arahan dan motivasi kepada managemen, intinya agar tetap semangat, kreatif dan inovatif :
- Direktur Perencanaan dan Pengembangan, "Jangan Tertidur!"
- Direktur Niaga, "Peluang kita besar"
- Direktur Operasi, "Mari kita jadikan lebih baik lagi"
- Direktur Keuangan, "Ini sebuah permainan"
- dan Direktur Utama, "Pasar tetap menunggu solusi dari *********" (sensor, nama perusahaan soalnya, hehehe)
Acungan jempol dari saya tuk pak dirut!

Wednesday, May 9, 2007

ganti seatpost

Akhirnya update juga blog ini, hehehe. Maaf, maaf bagi yang sering berkunjung tapi gak ada yang baru. Maklum, habis bertapa di negeri seberang tuk beberapa hari. Sebenarnya banyak hal baru yang bisa dituangkan disini, sayang sekali di tempat training disana tidak tersedia pc yang terhubung ke internet. Ya sudah, akhirnya ceritanya menguap begitu saja, .... sayang sekali.

Ok mari kita mulai. Semalam aku mengganti seatpost (dudukan sadel) lama dengan yang baru. Dua-duanya seatpost bekas. Ceritanya dimulai ketika merakit frame baru Januari lalu. Karena ingin kontrol yang lebih enak aku pilih stem yang paling pendek, kira-kira <= 70mm. Oh ya, frameku ukuran 14" dan tinggi badan kuranglebih 165cm. Posisi badan jadi terlalu rapat. Karenanya timbul pikiran tuk ganti setback seatpost, seperti di sepeda sebelumnya. Ketika sepeda dicoba tetangga, komentarnya juga sama, badan seperti terdorong ke depan, apalagi jika ngebut.

Pilihan saat itu adalah mengganti stem dengan yang lebih panjang, kira stem 100mm cocok. Tapi sekali lagi aku maunya pake stem pendek. Di majalah MBA edisi Februari 2007 diulas mengenai pengaruh panjang stem terhadap kenyamanan bersepeda. Selain panjang stem, sudut stem juga berpengaruh. Ada teman yang sengaja memasang stemnya dengan sudut minus, maksudnya stem dipasang terbalik. Dan aku sudah memutuskan tidak akan mengganti stem. Opsi berikutnya yang aku pilih, yaitu mengganti seatpost. Dan rasanya mata kok gak mau kerkedib dari seatpost Thomson bengkok. Sayang, harganya belum terjangkau.

Ala bisa karena biasa. Peribahasa itu benar adanya. Karena sudah terbiasa dengan posisi seperti itu, bersepeda jalan terus tanpa ada masalah besar. Memang ada sedikit keluhan di tanjakan curam yang butuh akselesari cepat. Ban belakang sering kehilangan traksi, selip. Ini sudah beberapa kali terjadi. Padahal aku yakin bisa menyelesaikan tanjakan tersebut. Apa karena posisi dudukku yang 'terlalu kedepan' sehingga ban belakang sering kehilangan traksi ketika di tanjakan?

Beberapa toko yang gampang kuakses kudatangi tuk sekedar tanya setback seatpost diameter 30.9. Tapi sayang yang masih single bolt. Sejak kenal seatpost Truvativ aku malas pake model single bolt, lebih enak double bolt tuk pengaturan sudut sadel.

Dan akhirnya Thomson idaman datang. Semalam langsung kupasang. Kesan pertama langsung terasa bedanya antara Thomson dan Truvatif. Truvatif tidak bisa langsung masuk ke seattube, harus dilumasi terlebih dahulu dan mengelupas cat pelapis. Benar, jadi kurang sedap dipandang. Thomson lain lagi. Tanpa diberi pelumas langsung masuk ke seattube dengan mudah, tanpa ada paksaan sedikit pun. Pasang sadel. Atur baut depan dan belakang tuk mendapatkan sudut yang pas. Kalau ingin posisi sadel agak mendongak tinggal baut depan dikendori dan baut belakang dikencangi, begitu pula sebaliknya.

Tes sebentar, dan hasilnya maknyos, posisi genjot lebih nyaman. Memang belum teruji karena baru tes genjot di gang komplek. Sabtu atau Minggu depan sepertinya saat yang pas tuk ngetes. Foto? Lihat foto berikut :
Truvativ


Thomson