Monday, March 26, 2007

Infinite goes to Jalur Jatiasih

Hari Minggu kemarin berkesempatan tuk mengajak Infinite jalan-jalan ke Jatiasih, Jalur Jatiasih tepatnya. Bersama Rodex (Rombongan Depok) perjalanan dimulai dari Detos (Depok Town Square), agak telat karena ada salah satu anggota yang kesiangan. Ditambah lagi kepadatan jalan Juanda di Minggu pagi akibat pasar kaget, dan sebagai puncak salah seorang teman kecelakaan saat menuruni tangga jembatan penyeberangan diatas tol Jagorawi. Kecelakaannya cukup parah sehingga perlu segera dievakuasi. Dan aku pun ikut mengevakuasi, walau hanya sampai ketemu taksi yang membawa pulang teman tersebut. Berita terbaru dari dia : engselnya bergeser dan sudah diurut (dikembalikan ke tempat semula). Semoga lekas sembuh Zam!

Perjalanan dilanjutkan kembali. Melewati perumahan Rafles Hills (gileee, keren bo perumahannya), menyusuri jalan Trans Yogi dan akhirnya ketemu teman yang akan memandu rombongan. Sebut saja Om Trio. Dari depan komplek Citra Grand, sepeda dibelokkan ke kiri menyusuri jalanan kampung. Entah apa nama kampungnya. Belok kiri, kanan, putar dan sebagai macamnya membuatku susah tuk menghapal jalur pembuka ini. Tahu-tahu kami sudah disambut single trek dan turunan yang memakan korban. Kali ini Seto, rekan sekantorku lepas kontrol sehingga jatuh. Tapi tak ada cidera sehingga bisa lanjut. Perjalanan sedikit terhambat karena jembatan bambu yang unik. Oh ya, di sepanjang JJ ini banyak melewati jembatan bambu. Dan aku agak grogi melewatinya, hehehe, takut jatuh :D.

Istirahat sebentar, disambut dengan turunan yang mak-nyoss. Begitu masuk ke mulut turunan sudah disambut oleh pohon yang melintang, harus waspada agar kepala tak tersangkut. Masih was was dengan pohon melintang tiba-tiba didepan sudah menunggu potongan trek yang lebih curam. Walau pendek tapi cukup membuat jantung deg-degan. Kali ini ketangguan fork yang diuji. Tentu selain nyali dan teknik pengendaranya. Alhamdulillah, RST Omega T7-ku bisa lolos. Jleg, kira-kira begitu rasanya. Sepertinya fork dengan travel lebih panjang dari 100 akan lebih nyaman melewati rintangan ini. Melewati tanjakan-tanjakan kecil Infinite cukup lincah. Kelemahannya adalah ban depan sering terangkat jika tanjakan agak terjal, tuk menyiasati bisa dengan menggeser posisi badan lebih kedepan. Tapi jangan terlalu kedepan karena ban belakang bisa kehilangan traksi. Setelah istirahat perjalanan dilanjutkan menuju markas klub JJ.

Setelah berkenalan dan berhahahihi, rombongan kembali meluncur menuju ke ujian berikutnya. Ujian pertama adalah alang-alang disekitar jalur yang tinggi dan berseliweran bebas didepan mata. Untung pakai kacamata. Jadi pastikan selalu pakai kacamata jika bermain sepeda. Turunan dan tanjakan juga lebih variatif, kadang bisa dinaiki kadang juga harus dituntun. Karena teknik yang kurang memadai seringkali Infinite kehilangan traksi di tanjakan, padahal aku yakin aku bisa melahapnya. Gemes dehhh. Dan sebagai turunan pamungkas sebut saja-menurut om Trio- Turunan Koboi. Ya, memang benar sesuai namanya. Turunannya curam dan sangat menantang. Ragu? Lebih baik sepeda dituntun aja. Dan menuntun sepeda pun ternyata bukan hal yang mudah, bisa-bisa sepeda dan orang berjalan sendiri-sendiri, alias nyungsep :D. Tentu saja, Infinite segera beraksi setelah melihat contoh dari om Trio. Seperti biasa, geser pantat ke belakang, tangan di stang dengan kewaspadaan tinggi di rem, kaki kokoh menapak di pedal. Wusssss, ... setelah dirasa mantap, rem dilepas, ditambah beberapa kayuhan sehingga Infinite bisa meluncur kencang. Puasss! Dari keseluruhan rombongan hanya satu yang tidak lulus ujian Turunan Koboi karena menuntun sepeda, hehehe.

Sampai dirumah disambut Mama dengan agar-agar yang suegarrrrr dan lumpia yang menggoda selera. "Makasih ya Ma", ... mmuach!

Terima kasih kepada om Trio sebagai pemandu dan teman-teman Rodex yang lucu, ceria, baik hati dan tidak sombong :D.

---

Foto : diambil dari blognya Gilang ("gpp ya Lang aku pajang disini?") dan temannya Armi (maaf tak tahu namanya)

Friday, March 23, 2007

Thursday, March 22, 2007

menjadi sakti eh saksi

Hari ini, tuk kali pertama aku berhubungan dengan kepolisian bukan karena ditilang. Sssttt, sebenarnya yang kedua sih, karena ortunya mama polisi juga, hehehehe. Aku dipanggil sebagai saksi untuk sebuah kasus yang secara tidak langsung melibatkan kantor tempatku bekerja. Ketika mama aku kasih tahu soal ini terbersit rasa kaget. Jangan-jangan aku malah jadi tersangka. Teman-teman kantor aja

Tadi siang aku ditemani seorang rekan dari bagian legal datang ke Polda Metro di Sat Cyber Crime Dit Reskrimsus. Temanku tersebut nyeletuk "Walau sering ke Polda tetep aja setiap ada perasaan yang beda ketika mau masuk ke ruangan penyidikan". Kemarin teman-teman sudah mengingatkan supaya aku jangan mau jadi saksi di pengadilan. Cukup sampai penyidikan saja. Menurut penuturan teman yang pernah sampai di pengadilan, dia kapok. Stres katanya, gaji gak seberapa tapi mempertaruhkan nama perusahaan dan diri sendiri. Aku masih tenang-tenang saja, mengingat perusahaanku tidak terlibat langsung dengan kasus ini. "Jangan mau tanda tangan BAP, ... bla bla bla"

Eng ing eng, ... masuklah aku ke ruang penyidikan. Dipersilahkan duduk oleh penyidik. Seorang perempuan dengan pangkat yang lumayan tinggi. Kenalan dan basa-basi. Tanya sana tanya sini tuk mencairkan suasana. Dan mulailah proses penyidikan. Pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah soal kesehatan jasmani dan rohaniku, diikuti soal apakah aku tahu kenapa aku dipanggil didudukkan di kursi penyidikan, dan berlanjut ke pertanyaan utama yang berhubungan dengan pekerjaanku sehari-hari. Kulirik rekanku dari legal, dia memberi kode "kalau tidak tahu atau ragu-ragu jawab aja gak tahu".

Ternyata, tidak setegang yang aku bayangkan. Ya, bisa jadi karena kapasitasku sebagai sakti. Beliau (penyidik) senang sekali bercerita, dia bercerita kerjasama dia dengan kepolisian Australia dalam mengungkap kasus Bom Bali dan cerita-cerita ringan lainnya. Yang menarik ketika dia bercerita tentang
kasusnya Dani, pembobol situs KPU. Dia bercerita tentang sosok Dani, dan dia banyak mendapat ilmu darinya, sayang dia gak berani mempraktekkan ilmu dari Dani. Katanya "Gak lucu kan kalau polisi cyber crime menjadi tersangka kasus pembobolan situs?"

Penyidikan berakhir pukul setengah dua setelah lebih dari 10 pertanyaan diajukan terhadapku. Sebelum menandatangani BAP ada yang membuatku kaget. Disitu tertulis aku sebagai tersangka. Nah lho! Tentu saja langsung kutanyakan ke penyidik, dan dia tersenyum saja. "Maaf mas, soalnya template-nya copy-an BAP-nya tersangka". Ooooo.

Argentina



Jakarta, 2006

Tuesday, March 20, 2007

standar kesopanan (yang) berbeda

Adalah sebuah rutinitas setiap pagi aku mengisi bensin tuk pergi-pulang Depok-Jakarta. Bukan di pom bensin tapi di kios-kios bensin pinggir jalan. Memang rugi 0,2 liter tapi tak apa karena aku malas antri. Oh ya, aku isi 2 liter sehari, 10 ribu rupiah. Dan aku pun sudah punya kios langganan di dekat rumah.

Seperti biasa, pagi itu aku mengisi bensin.
"Bensin mas?"
"Iya Pak, seperti biasa"
Jok aku buka, tutup tangki tak lupa pula, dan uang 10 ribu aku taruh di dekat mulut tangki.
"Mas yang sopan dikit dong!"
"Uangnya jangan ditaruh disitu, gak sopan"
Wekkk, aku kaget tuk sesaat. Apa yang salah? Bukankah dihari-hari sebelumnya tidak ada masalah. Aku taruh uang di tangki karena aku menyiapkan diri tuk mengendarai motor. Mulai dari memakai masker, sarung tangan dan terakhir helm. Tak ada maksud merendahkan dia, sama sekali tak ada. Dalam hati kecil terdalam sekalipun tak ada maksud lain dengan aku menaruh uang di tangki kecuali tuk mengisi waktu isi bensin dengan siap-siap.

Mama juga kaget. Karena hal ini (menaruh uang di tangki) sudah sering kita lakukan dan tak ada masalah. Tapi kenapa hari ini kenapa dipermasalahkan? Bete dong, pagi-pagi sudah kena 'semprot'. Oh ya, selain jual bensin, bapak ini juga buka bengkel, dan sesekali aku juga membetulkan motor disitu jika ada masalah. Dan tidak pernah ada masalah dalam komunikasi selama ini. Aku ajak ngobrol kiri-kanan atas-bawah, tak ada masalah. Entah ada angin apa pagi itu. Perbedaan standar kesopanan antar dua generasi?

Ya mohon maaf kalau aku dianggap tidak sopan. Tentu saja, penjual bensin tersebut sudah kehilangan satu pelanggan loyal, hehehe.

Friday, March 16, 2007

Tuesday, March 13, 2007

tebak-tebakkan metering kamera

Ada kamera dengan fasilitas metering spot/partial, center weight, dan matrix/average, diarahkan ke sebuah objek (subjek terfoto kalau kata Firman Ichsan, kurator galeri Oktagon) dan menghasilkan pengukuran sebagai berikut :
- spot : 1/125 f16
- centre weight : 1/125 f16
- average : 1/125 f16
- asa/iso tetap
Pertanyaannya, bagaimana hasil jepretan dari ketiga seting tsb? Dan apa alasannya? Hehehe

Trus kamera diarahkan ke objek lain, menghasilkan pengukuran sbb :
- spot : 1/500 f8
- centre weight : 1/60 f22
- average : 1/125 f16
- asa/iso tetap
Pertanyaan sama, bagaimana hasil dari ketiga seting tsb dan alasannya?

---

Pertanyaan tersebut aku lempar ke milist fotografi di kantor. Jawaban yang masuk tak banyak. Entah karena tak mampu jawab, malu menjawab, atau malas menjawab karena pertanyaannya iseng sekali, hehehe.

Temanku Lani menjawab :
Yang spot lebih gelap, centre weight seimbang, average lebih terang
Ketika diarahkan ke objek lain hasilnya sama.
Mas Wisnu punya jawaban lain :

Boleh nimbrung donk, jawaban nubie
- Hasilnya sama, karena exposure Cuma tergantung dari Aperture sama Speed. Spot, center weight ama matrix hanya berlaku di mode A (untuk nyari speed yg sepadan sesuai dg algoritma spot, center ato matrix), S (untuk nyari aperture sesuai dg spot, center ato matrix) dan Auto (nyari kedua duanya)
- Hasilnya sama juga, karena semua kombinasi Apperture ama speed sebetulnya mengasilkan nilai exposure yg sama (EV yg sama).

Jawaban siapa yang benar?

Sebagai pembuat kuis, jawabanku sama dengan jawaban mas Wisnu diatas. SAMA. Begitu jawabnya. Ingin bukti? Ok, lihat beberapa foto dibawah ini (data teknis lihat properties file) :

matrix metering


center weight average metering


spot metering

Foto lainnya, dengan lokasi pemotretan yang sama :

matrix metering


center weight average metering


spot metering

Jadi apa dong gunanya metering yang berbeda-beda tersebut dan kenapa bisa sama?

'come back' yang gagal?

Setelah vakum beberapa saat dari aktivitas fotografi, akhirnya saatnya aku kembali ke habitatku. Bermain-main dengan film hitam-putih. Sebenarnya ini adalah kali kedua, setelah sebelumnya mencoba comeback, dengan hasil yang mengecewakan. Negatif yang aku proses cacat dimana-mana. Film susah digulung di rel, diulur lagi, gulung lagi, macet, ulur lagi, gulung lagi. Sampai akhirnya bisa tergulung, dan menghasilkan hasil akhir yang cacat. Negatif baret-baret, bekas potongan film menempel. Padahal foto yang ada di film itu merupakan foto cerita tentang Idul Adha. Ada yang ngeledek gak ya? "Hari gini masih pakai film?"

Ok, pantang nyerah. Percobaan pertama gagal dan harus mengorbankan foto-foto spesialku. Tapi tak apa, itu resikoku. Kali ini aku mencoba developer baru, Kodak D76 yang sudah kadaluarsa. Developer ini memerlukan suhu yang relatif panas untuk melarutkannya, di bungkus tertulis 50/55 derahad celcius. Sayang, termometerku hanya bisa mengukur maksimal 40 derajad. Ya sudah, akhirnya D76 terlarut juga kok di suhu 40 derajad lebih :D.

Film yang kupakai kali ini adalah Kodak Tri X, film dengan emulsi kuno yang membuatnya lebih toleran terhadap under maupun over exposure. Film ini menjadi favorit jurnalis dan pehobi street photography.

Percobaan dimulai. Semua lampu aku matikan, kecuali lampu kamar tidurnya Mama dan Kintan. Masuk dalam selimut dan mulai utak-atik film dengn pembuka botol minuman. Gileeee, kali ini susaaaaah banget buka kaleng film. Dicongkel gagal terus. Keringat tak tertahankan meleleh. Akhirnya diambil jalan pintas. Congkel lewat jalan keluar-masuknya film, dan hasilnya bisa dilihat di gambar. Semua dilakukan dalam gelap dan rasa khawatir film akan tergores logam pembungkus film. Habis gimana, beli penarik lidah film tapi coba narik lidah film gagal terus. Tips dari Nunu, jangan digulung habis film ketika menggulung balik. Kalau motret lagi akan dicoba.

Pembungkus film yang 'tercongkel' karena pembuka botol tak berfungsi maksimal.

Setelah film masuk ke rel dan rel masuk ke tabung proses. Berikut prosesnya :
- Developer Kodak D76 1 : 1, suhu 20C (sptnya lebih dikit) agitasi 5 detik tiap 30 detik selama 8 menit. Agitasi pertama 30 detik kontinyu sambil beberapa kali tabung dibenturkan.
- Stop bath cukup dengan air.
- Fixer Ilford Rapid Fixer 1 : 4, suhu diatas 20C. Agitasi kontinyu selama 3 menit.
- Pembilasan cukup dengan air. Diakhir pembilasan ditambah beberapa mililiter wetting agent.

Eng ing eng. Setelah dikeringkan ternyata hasilnya maknyussss. Negatif mulus, tidak terdapat cacat berupa goresan maupun kotoran yang menempel. Alhamdulillah. Ingin tahu hasilnya?

Monday, March 12, 2007

Kamera digital atau kamera film?

Entah angin apa yang membuatnya mampir ke sini. Di diskusi tersebut membahas curhat salah seorang anggota yang mengeluhkan kejenuhan memakai kamera digital (DSLR). Hal ini pun pernah terjadi pada diriku.

Kamera pertamaku adalah Braun SR 2000, semua serba manual. Kurasakan kok jadi lambat cara kerjaku pakai kamera ini. Tidak fleksibel dengan pilihan lensa yang terbatas. Maklum, waktu awal motret aku ingin mencoba semua gaya foto, semua ingin aku coba. Dari foto-foto pemandangan sampai foto orang dengan latarbelakang yang kabur. Akhirnya kuputuskan tuk beli Nikon F80 bekas, bekas teman kantor yang jarang motret. Kondisi masih ok sekali. Kamera yang nyaman dan enak dipakai. Tapi lagi-lagi menjamurnya komunitas online fotografer membuatku memakai kamera film kurang asyik. Harus nyecan dulu sebelum upload, harus olah dulu, ahhh ribet. Aku sudah sempatkan juga beli scanner, tak begitu mahal, hasilnya pun tak begitu bagus :D. Kemudian muncul dan rame dibahas, Nikon D70. Kamera hebat di generasinya, mendapat penghargaan pula. Beli dehhhh. Hampir 11 juta bo! Seneng dong punya kamera canggih dan keren, jepret sana jepret sini. Sampai akhirnya aku merasa jenuh.

Aku penggemar foto monokrom (hitam putih), dan sampai hari ini kamera digitalku belum bisa menghasilkan foto hitam putih yang memuaskanku. Tentu ini karena keterbatasan kemampuanku. Bosan, jenuh, bete. Ada yang rasa yang hilang dari hobi motret ini. Kemudahan yang ditawarkan kamera digital malah membuatku bosan dan jenuh. Semakin mudah aku membuat foto bagus semakin 'murah' pula rasanya foto tersebut. Yang terjadi saat ini kamera digitalku hanya sebagai kamera dokumentasi keluarga. Tuk keperluanku, pilihan kujatuhkan pada kamera rangefinder Bessa R plus lensa 35mm color skopar dan memproses sendiri film-filmku.

Ya ya ya, hal ini sangat subjektif. Tidak semua orang pehobi foto merasakan hal serupa. Apalagi dunia industri. Digital adalah raja. Kalau untuk keperluan bisnis memang memakai kamera digital lebih hemat biaya produksi. Keuntungan akan semakin berlipat ganda. Tapi perkembangan kamera digital yang cepat membuat kamera digital cepat sekali menjadi 'sampah'. Berlomba-lomba memakai kamera dengan teknologi terkini sudah semakin biasa. Bukan kemampuan fotografi yang diasah, tapi keunggulan teknologi kamera yang ditonjolkan. Tapi bagi tak bisa dipungkiri, bahwa teknologi digital memudahkan pemula tuk belajar foto. Tapi lagi-lagi jangan sampai kebablasan seperti ini, "Wah, fotomu bagus banget Ndri, pakai kamera apa bisa bagus seperti ini?" atau "Makanya pake camera itu digital, jadi ngga usah takut2 tuh jeprat jeptret, hari gini masih pake film, udah ngukurnya susah, motretnya susah, momennya ilang, prosesnya jg susah, walah, hidup udah susah dibikin susah". Tak ada yang salah bagi yang perpendapat seperti diatas. Tapi rasanya disitu pula terdapat pembedaan antara fotografer yang OK, GOOD, dan GREAT.